Rabu, 01 Juli 2015

PEDALAMAN?

Pedalaman yang Tak Seperti Dibayangkan



Senin 1 September 2014 merupakan hari pertama saya mengajar di SD YPPK Ubrub Distrik Web dimana sebenarnya SK penempatan saya di SD YPPK Akarinda masih di Distrik Web namun berjarak cukup jauh dari Ubrub dan harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 8 jam. Namun pesan dari Bapak Irianto (Kabag Program Dinas P dan P Kab Keerom) mengharuskan saya untuk sementara di Ubrub terlebih dahulu bersama dua orang teman RGSB lainnya yaitu Azis dan Anggi sembari menunggu kejelasan situasi dan kondisi tempat penempatan dan kejelasan kabar dari Kepsek SD YPPK Akarinda yang turun ke kota dengan alasan yang belum diketahui.
Setelah apel pagi itu, kami bertiga (Saya, Azis, dan Anggi) diajak berkeliling masuk ke setiap kelas yang ada guna memperkenalkan diri kepada murid-murid. Usai berkeliling kami mengadakan rapat sejenak guna membahas pembagian kelas mana yang harus kami ajar selama mengajar di Ubrub. Saya pun mendapat jatah untuk mengajar siswa kelas VI karena wali kelasnya harus mengajar anak kelas 1 dan 2. Sementara itu Azis dan Anggi mendapat jatah untuk mengajar di kelas 4 dan 5.
Briefing selesai, saya pun menyiapkan diri dengan mencari tahu jadwal pelajaran dan buku-buku paket yang seadanya di kantor guru. Saya pun melangkahkan kaki menuju kelas 6 dengan rasa yang berkecamuk di hati antara interest dan nerveous karena ini merupakan pengalaman saya mengajar langsung siswa SD. Yang ada di pikiran saya mengajar anak SD adalah anak-anak nakal yang sulit diatur. Namun bayangan itu pun hilang ketika kaki mulai memasuki ruang kelas 6. Begitu saya masuk, sang ketua kelas yang bernama Lisda langsung menepuk meja sebanyak 4 kali sebagai pemberi aba-aba kepada siswa lain untuk memberi salam. Ya begitulah kebiasaan “aneh” disini yang tidak saya temui di Jawa.
Awal saya masuk kelas, saya coba untuk menyapa mereka agar bersemangat. Namun setelah dicoba hingga 5 kali usaha saya berakhir sia-sia karena murid-murid menjawab salam dari saya dengan suara datar dan cenderung masih malu-malu. Awal masuk kelas 6, pertama saya ingin mengenal murid saya satu per satu dengan menyuruh mereka bergantian maju ke depan memperkenalkan diri. Setelah 5 orang murid saya telah memperkenalkan diri akhirnya giliran saya memperkenalkan diri. Saya memperkenalkan diri dan bercerita banyak tentang daerah asal saya. Setelah perkenalan tersebut saya suruh seluruh siswa kelas 6 untuk menyanyikan lagu kebangsaan yaitu lagu Indonesia Raya. Kaget memang untuk selevel siswa kelas 6 SD tidak hafal lagu Indonesia Raya apalagi mereka sering menyanyikannya dengan nada yang berubah-ubah lain dari nada aslinya. Sejak saat itu saya putuskan untuk mengawali KBM mewajibkan seluruh siswa menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama. Hari demi hari saya mengajar pun saya lewati dengan banyak cerita. Mulai dari tingkat malu kelas 6 yang sangat tinggi jika dibandingkan kelas lain, susahnya mengajari mereka membaca dan menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, hingga semangatnya siswa jika saya berikan permainan di sela-sela pelajaran. Berbagai macam karakter siswa yang saya temui di kelas 6 ini. Mulai dari perempuan yang sangat rajin mencatat, siswa yang sebenarnya cerdas namun tidak teliti jika diberikan tugas, Boni yang jago bermain sepak bola dan matematika namun sangat lemah di membaca dan menulis, hingga datangnya beberapa murid baru asal kampung Somografi di minggu-minggu terakhir bulan September karena keadaan sekolah yang lumpuh di Somografi sana. Total hingga akhir bulan September 2014 saya mengajar 14 siswa dari yang awalnya hanya 7 siswa.
Kehidupan saya di Ubrub pun mempunyai cerita yang sangat beragam hingga kiranya tidak bisa dimuat semua di laporan narasi ini. Namun saya akan ceritakan bagaimana kehidupan saya sehari-hari disini dan keadaan warga kampung Umuaf.
Ubrub yang merupakan ibukota dari Distrik Web bisa dibilang sangat sepi dari hiruk pikuk kehidupan warganya. Walaupun disini ibukota distrik namun karena yang letaknya paling ujung jalan raya dan sangat jauh dari Arso (7 Jam perjalanan menggunakan mobil) menjadikan banyak warganya yang merantau ke Arso. Bisa dibilang warga yang menetap di Ubrub tepatnya di kampung Umuaf sehari-hari hanya mencari kayu bakar dan pergi ke sungai guna mencuci sambil mendulang emas. YA Betul, mendulang emas. Kaget memang saat mendengar kabar di sepanjang Kali M yang mengalir cukup deras pasir di pinggiran sungainya mengandung butiran-butiran emas. Suatu hari saat saya, 2 teman RGSB, dan Sersi jalan-jalan menyusuri sungai, kami bertemu dengan segerombolan anak yang sedang mendulang emas. Kami pun berhenti melihat bagaimana proses mencari emas disini. Awalnya mereka menggali pasir pinggir sungai yang masih bercampur dengan batu sedalam mungkin dengan Sekop besar. Pasir hasil galian tadi ditampung di kuali ( wajan atau penggorengan) ukuran besar. Kemudian pasir yang ada di kuali tadi harus dipisahkan dari batu-batu dan kerikil dengan menggoyang-goyangkan kuali layaknya mencuci beras. Setelah hanya tinggal pasir saja, kita harus kurangi pasir tersebut sedikit demi sedikit dengan mencampurkan sedikit air sungai dengan tetap menggoyangkan kuali. Emas tersebut akan terlihat jika jumlah pasir di kuali tinggal sedikit sekali. Jangan bayangkan akan menemukan kepingan emas seukuran kerikil, karena emas yang didapat hanya seukuran butiran pasir. Terlihat mudah memang, namun sangat sulit melakukannya bagi pendatang seperti kami bertiga disini. Dan jangan bayangkan sekali mendulang emas mendapat emas 1 atau 2 gram. Warga asli sini saja seharian mendulang emas paling-paling hanya mendapat 1-2 kaca. Ya, kaca. Kaca merupakan ukuran takaran emas disini yang masih di bawah gram. Bisa dibilang 1 kaca itu setara dengan 0,1 gram emas. Jadi untuk mengumpulkan 1 gram emas biasanya diperlukan waktu satu minggu. Biasanya warga menjual emasnya kepada Pastor Willy dengan harga jual 1 kaca = Rp 37.000 dan 1 gram emas = sekitar Rp 400.000. Anak-anak disini pun juga rajin mendulang emas di sungai. Tidak heran jika anak-anak disini jika membeli jajan di kios membawa uang Rp 50.000 – Rp 100.000 untuk sekali beli.
Proses mendulang emas di Kali Em

Kehidupan saya dan 2 teman RGSB di Ubrub ini bisa dibilang sangat memprihatinkan. Kami bertiga tidur hanya dengan beralaskan 2 tikar yang ditumpuk di ruang depan karena 2 kamar yang ada di rumah guru tersebut masih terdapat barang-barang milik Kepala Sekolah dan guru lokal yang masih di Arso. Untuk makan sehari-hari pun kami hanya mengandalkan Bahan Makanan yang kami bawa dari kota karena masyarakat disini tidak ada yang berkebun sayur serta hutan di Ubrub juga bisa dibilang miskin binatang. Mungkin hanya sebulan sekali masyarakat sini yang berburu mendapatkan hasil rusa atau babi hutan. Biasanya mereka berburu hanya mendapatkan burung dan sayuran yang tumbuh di hutan misalnya sayur pakis dan sayur lilin. Namun walaupun demikian masyarakat disini sangat ramah kepada kami bertiga. Mungkin karena status kami disini sebagai guru dan sudah menjadi rahasia umum jika petugas kesehatan dan tenaga pendidik di Papua sangat dihargai. Namun untuk mendapatkan kepercayaan itu pun tidak mudah. Awal datang kami ke Ubrub kami bertiga disangka Kopassus yang sedang menyamar sebagai guru. Beruntung masih ada Pastor Willy yang sangat bijaksana memberikan pengertian kepada warga bahwasannya kami ini hanya guru yang ditugaskan untuk mengajar SD YPPK Ubrub. Menurut Pastor Willy ada 2 kali ibadah hari Minggu beliau memberikan pengertian kepada warga tentang keberadaan kami hingga akhirnya masyarakat percaya. Keberadaan Pastor di Ubrub begitu sangat dihormati oleh masyarakat karena mayoritas warganya beragama Katolik. Alasan kenapa masyarakat disini sangat menolak keberadaan Kopassus adalah trauma masa lalu karena di tempo dulu Ubrub ini merupakan daerah konflik dimana banyak warga yang menjadi korban akibat perselisihan dengan Kopassus.

Tentang nasib penempatan saya yang seharusnya di Akarinda akan saya jelaskan disini. Jadi beberapa hari setelah mencari informasi di segenap masyarakat saya mendapatkan gambaran tentang situasi dan kondisi disana. Untuk menuju ke Akarinda sendiri jika dari Ubrub harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 8 jam (ukuran orang lokal), belum lagi jalur yang harus dilewati ada jalan menanjak dan menurun serta melewati beberapa aliran sungai yang bisa sewaktu-waktu banjir. Keadaan disana pun tidak ada guru yang mengajar disana. Praktis jika saya disana, saya akan hidup seorang diri karena jarak rumah guru dan kampung warga cukup jauh. Belum lagi cuaca yang sangat dingin disana. Apalagi selang beberapa hari saya di Ubrub, saya mendapatkan kabar dari Tentara yang ada di Ubrub bahwa baru saja ada satu Tentara yang meninggal dunia disana akibat terlambat dievakuasi karena disana tidak ada petugas kesehatan. Alhasil informasi-informasi tersebut berhasil membuat nyali saya semakin menciut dan meningkatkan kegalauan. Langsung ketika mendapat sinyal saya langsung memberi tahu Bapak Irianto tentang informasi-informasi tersebut dan saya minta kebijaksanaannya untuk dipindah tugas ke tempat yang lebih mudah dijangkau. Beliau pun hanya menjawab bersabar terlebih dahulu dan menunggu kabar dari Kepsek SD YPPK Akarinda dengan jangka waktu satu minggu. Jika dalam kurun waktu satu minggu tidak ada kepastian dari Kepsek, segera hubungi Dinas kembali. Oke, satu minggu pun terlewati tanpa kabar dari Kepala Sekolah. Akhirnya saya nekat naik ke bukit sinyal karena penguat sinyal di Pos TNI sedang rusak. Saya harus melalui trek dengan jalan menanjak yang sangat terjal yang ditempuh dengan jalan kaki 40 menit guna meminta kepastian dari Dinas. Akhirnya kabar terbaru pun saya dapatkan bahwa 3 orang yang di tempatkan di Molof, Yambrab, dan Akarinda dipindah tempat tugas ke Arso Timur. Namun keputusan itu pun masih belum final dan baru wacana belum direalisasikan lewat SK Kepala Dinas P dan P Kab Keerom. Bapak Irianto hanya berpesan tunggu saja penjemputan dari Dinas akan ke Ubrub dan mengantarkan ke tempat penempatan yang baru. Namun hingga akhir bulan tidak ada satu mobil Dinas pun yang menjemput kami berdua (saya dan Azis). Akhirnya kami memutuskan untuk turun sendiri ke kota dengan mobil sewaan milik warga dengan biaya kami pribadi dan mengangkut semua barang-barang kami sekaligus menyusun laporan bulanan di kota.

Untuk keseharian kami bertiga disini pun mempunyai banyak saudara baru di Kampung Umuaf sini. Bisa dibilang saya betah hidup di Ubrub. Yang pertama karena sikap ramah para warganya; yang kedua keadaan alam dan cuaca di Ubrub yang cukup baik menurut saya dimana saya bisa mandi setiap hari di sungai yang mengalir cukup deras, cuaca yang walaupun berubah-ubah namun tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas, sedikitnya nyamuk disini dan tidak saya temui di daerah Keerom yang lain bahkan saya tidak pernah tidur menggunakan lotion anti nyamuk ataupun kelambu; Yang ketiga karena sudah dekatnya kami bertiga dengan orang-orang Paroki yang berasal dari Manggarai NTT sangat baik terhadap kami. Setiap hari kami selalu berkunjung ke Paroki Santo Bonifasius Ubrub Keuskupan Jayapura bercengkrama dengan Pastor Willy, Frater Sersi, dan Bang Ferdy (Guru Paud) yang juga tinggal di Paroki atau masyarakat biasa menyebut Pastoran. Bahkan oleh orang proyek yang sedang membangun jalan ke Yambrab, kami bertiga, Sersi, dan Bang Ferdy disebut Pastoran bersaudara karena kemana-mana kami selalu bersama. Sering bergaul dengan orang-orang Paroki pun saya menjadi lebih memahami arti toleransi beragama. Bahkan ketika akan memotong ayam milik Pastor guna dibuat campuran Papeda, kami bertiga ditawari untuk memotong ayam tersebut karena ternyata mereka mengerti bahwa di agama Islam haram hukumnya makan daging yang disembelih oleh orang non-muslim. Renang di sungai, bermain voly di Pos TNI, masak bersama, pergi ke kampung, dan berkebun merupakan keseharian kami berlima di Ubrub selama sebulan ini. Karena kebersamaan ini juga selain saya harus belajar bahasa Papua, sedikit demi sedikit saya pun mengerti bahasa Manggarai NTT karena orang-orang Paroki semua berasal darisana.

Namun kebersamaan kami akhirnya harus berakhir lebih awal karena saya dan Azis dipindah tugaskan ke Arso Timur. Sebenarnya saya sudah betah tinggal di Ubrub ini karena telah menemukan banyak saudara baru mulai dari guru, warga, bang Ferdy, Sersi, Pastor Willy, dan paling berat meninggalkan anak didik kami di SD YPPK Ubrub yang sudah saya anggap seperti adik saya sendiri. Ada hikmah tersendiri selama tinggal bertiga di Ubrub. Saya jadi bisa belajar menanak nasi dan mengolah sayur dari dua orang teman RGSB yang luar biasa ini, Saya juga menjadi bisa membuat api dari kayu tanpa bantuan minyak tanah. Sungguh pengalaman sebulan di Ubrub ini akan menjadi sangat berharga di tempat penempatan yang baru nanti yaitu Arso Timur. Semoga ke depan saya masih sempat berkunjung kembali ke Ubrub sebelum meninggalkan Papua di Bulan Juni nanti.


                                                                                      Web, Kabupaten Keerom - September 2014




                                                                                                         Bagus Dwi Minarno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar