Pedalaman yang Tak Seperti Dibayangkan
Senin 1 September 2014
merupakan hari pertama saya mengajar di SD YPPK Ubrub Distrik Web dimana
sebenarnya SK penempatan saya di SD YPPK Akarinda masih di Distrik Web namun
berjarak cukup jauh dari Ubrub dan harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 8
jam. Namun pesan dari Bapak Irianto (Kabag Program Dinas P dan P Kab Keerom)
mengharuskan saya untuk sementara di Ubrub terlebih dahulu bersama dua orang
teman RGSB lainnya yaitu Azis dan Anggi sembari menunggu kejelasan situasi dan
kondisi tempat penempatan dan kejelasan kabar dari Kepsek SD YPPK Akarinda yang
turun ke kota dengan alasan yang belum diketahui.
Setelah apel pagi itu, kami
bertiga (Saya, Azis, dan Anggi) diajak berkeliling masuk ke setiap kelas yang
ada guna memperkenalkan diri kepada murid-murid. Usai berkeliling kami
mengadakan rapat sejenak guna membahas pembagian kelas mana yang harus kami
ajar selama mengajar di Ubrub. Saya pun mendapat jatah untuk mengajar siswa
kelas VI karena wali kelasnya harus mengajar anak kelas 1 dan 2. Sementara itu
Azis dan Anggi mendapat jatah untuk mengajar di kelas 4 dan 5.
Briefing selesai, saya pun
menyiapkan diri dengan mencari tahu jadwal pelajaran dan buku-buku paket yang
seadanya di kantor guru. Saya pun melangkahkan kaki menuju kelas 6 dengan rasa
yang berkecamuk di hati antara interest dan nerveous karena ini merupakan
pengalaman saya mengajar langsung siswa SD. Yang ada di pikiran saya mengajar
anak SD adalah anak-anak nakal yang sulit diatur. Namun bayangan itu pun hilang
ketika kaki mulai memasuki ruang kelas 6. Begitu saya masuk, sang ketua kelas
yang bernama Lisda langsung menepuk meja sebanyak 4 kali sebagai pemberi
aba-aba kepada siswa lain untuk memberi salam. Ya begitulah kebiasaan “aneh”
disini yang tidak saya temui di Jawa.
Awal saya masuk kelas, saya
coba untuk menyapa mereka agar bersemangat. Namun setelah dicoba hingga 5 kali
usaha saya berakhir sia-sia karena murid-murid menjawab salam dari saya dengan
suara datar dan cenderung masih malu-malu. Awal masuk kelas 6, pertama saya
ingin mengenal murid saya satu per satu dengan menyuruh mereka bergantian maju
ke depan memperkenalkan diri. Setelah 5 orang murid saya telah memperkenalkan
diri akhirnya giliran saya memperkenalkan diri. Saya memperkenalkan diri dan
bercerita banyak tentang daerah asal saya. Setelah perkenalan tersebut saya
suruh seluruh siswa kelas 6 untuk menyanyikan lagu kebangsaan yaitu lagu
Indonesia Raya. Kaget memang untuk selevel siswa kelas 6 SD tidak hafal lagu
Indonesia Raya apalagi mereka sering menyanyikannya dengan nada yang
berubah-ubah lain dari nada aslinya. Sejak saat itu saya putuskan untuk
mengawali KBM mewajibkan seluruh siswa menyanyikan lagu Indonesia Raya
bersama-sama. Hari demi hari saya mengajar pun saya lewati dengan banyak
cerita. Mulai dari tingkat malu kelas 6 yang sangat tinggi jika dibandingkan
kelas lain, susahnya mengajari mereka membaca dan menulis dengan bahasa
Indonesia yang baik dan benar, hingga semangatnya siswa jika saya berikan
permainan di sela-sela pelajaran. Berbagai macam karakter siswa yang saya temui
di kelas 6 ini. Mulai dari perempuan yang sangat rajin mencatat, siswa yang
sebenarnya cerdas namun tidak teliti jika diberikan tugas, Boni yang jago
bermain sepak bola dan matematika namun sangat lemah di membaca dan menulis,
hingga datangnya beberapa murid baru asal kampung Somografi di minggu-minggu
terakhir bulan September karena keadaan sekolah yang lumpuh di Somografi sana.
Total hingga akhir bulan September 2014 saya mengajar 14 siswa dari yang
awalnya hanya 7 siswa.
Kehidupan saya di Ubrub pun
mempunyai cerita yang sangat beragam hingga kiranya tidak bisa dimuat semua di
laporan narasi ini. Namun saya akan ceritakan bagaimana kehidupan saya
sehari-hari disini dan keadaan warga kampung Umuaf.
Ubrub yang merupakan ibukota
dari Distrik Web bisa dibilang sangat sepi dari hiruk pikuk kehidupan warganya.
Walaupun disini ibukota distrik namun karena yang letaknya paling ujung jalan
raya dan sangat jauh dari Arso (7 Jam perjalanan menggunakan mobil) menjadikan
banyak warganya yang merantau ke Arso. Bisa dibilang warga yang menetap di
Ubrub tepatnya di kampung Umuaf sehari-hari hanya mencari kayu bakar dan pergi
ke sungai guna mencuci sambil mendulang emas. YA Betul, mendulang emas. Kaget
memang saat mendengar kabar di sepanjang Kali M yang mengalir cukup deras pasir
di pinggiran sungainya mengandung butiran-butiran emas. Suatu hari saat saya, 2
teman RGSB, dan Sersi jalan-jalan menyusuri sungai, kami bertemu dengan
segerombolan anak yang sedang mendulang emas. Kami pun berhenti melihat
bagaimana proses mencari emas disini. Awalnya mereka menggali pasir pinggir
sungai yang masih bercampur dengan batu sedalam mungkin dengan Sekop besar.
Pasir hasil galian tadi ditampung di kuali ( wajan atau penggorengan) ukuran
besar. Kemudian pasir yang ada di kuali tadi harus dipisahkan dari batu-batu
dan kerikil dengan menggoyang-goyangkan kuali layaknya mencuci beras. Setelah
hanya tinggal pasir saja, kita harus kurangi pasir tersebut sedikit demi
sedikit dengan mencampurkan sedikit air sungai dengan tetap menggoyangkan
kuali. Emas tersebut akan terlihat jika jumlah pasir di kuali tinggal sedikit
sekali. Jangan bayangkan akan menemukan kepingan emas seukuran kerikil, karena
emas yang didapat hanya seukuran butiran pasir. Terlihat mudah memang, namun
sangat sulit melakukannya bagi pendatang seperti kami bertiga disini. Dan
jangan bayangkan sekali mendulang emas mendapat emas 1 atau 2 gram. Warga asli
sini saja seharian mendulang emas paling-paling hanya mendapat 1-2 kaca. Ya,
kaca. Kaca merupakan ukuran takaran emas disini yang masih di bawah gram. Bisa
dibilang 1 kaca itu setara dengan 0,1 gram emas. Jadi untuk mengumpulkan 1 gram
emas biasanya diperlukan waktu satu minggu. Biasanya warga menjual emasnya
kepada Pastor Willy dengan harga jual 1 kaca = Rp 37.000 dan 1 gram emas =
sekitar Rp 400.000. Anak-anak disini pun juga rajin mendulang emas di sungai.
Tidak heran jika anak-anak disini jika membeli jajan di kios membawa uang Rp
50.000 – Rp 100.000 untuk sekali beli.
Proses mendulang emas di Kali Em
Kehidupan saya dan 2 teman
RGSB di Ubrub ini bisa dibilang sangat memprihatinkan. Kami bertiga tidur hanya
dengan beralaskan 2 tikar yang ditumpuk di ruang depan karena 2 kamar yang ada
di rumah guru tersebut masih terdapat barang-barang milik Kepala Sekolah dan
guru lokal yang masih di Arso. Untuk makan sehari-hari pun kami hanya
mengandalkan Bahan Makanan yang kami bawa dari kota karena masyarakat disini
tidak ada yang berkebun sayur serta hutan di Ubrub juga bisa dibilang miskin
binatang. Mungkin hanya sebulan sekali masyarakat sini yang berburu mendapatkan
hasil rusa atau babi hutan. Biasanya mereka berburu hanya mendapatkan burung
dan sayuran yang tumbuh di hutan misalnya sayur pakis dan sayur lilin. Namun
walaupun demikian masyarakat disini sangat ramah kepada kami bertiga. Mungkin
karena status kami disini sebagai guru dan sudah menjadi rahasia umum jika
petugas kesehatan dan tenaga pendidik di Papua sangat dihargai. Namun untuk
mendapatkan kepercayaan itu pun tidak mudah. Awal datang kami ke Ubrub kami
bertiga disangka Kopassus yang sedang menyamar sebagai guru. Beruntung masih
ada Pastor Willy yang sangat bijaksana memberikan pengertian kepada warga
bahwasannya kami ini hanya guru yang ditugaskan untuk mengajar SD YPPK Ubrub.
Menurut Pastor Willy ada 2 kali ibadah hari Minggu beliau memberikan pengertian
kepada warga tentang keberadaan kami hingga akhirnya masyarakat percaya.
Keberadaan Pastor di Ubrub begitu sangat dihormati oleh masyarakat karena
mayoritas warganya beragama Katolik. Alasan kenapa masyarakat disini sangat
menolak keberadaan Kopassus adalah trauma masa lalu karena di tempo dulu Ubrub
ini merupakan daerah konflik dimana banyak warga yang menjadi korban akibat
perselisihan dengan Kopassus.
Tentang nasib penempatan
saya yang seharusnya di Akarinda akan saya jelaskan disini. Jadi beberapa hari setelah
mencari informasi di segenap masyarakat saya mendapatkan gambaran tentang
situasi dan kondisi disana. Untuk menuju ke Akarinda sendiri jika dari Ubrub
harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 8 jam (ukuran orang lokal), belum
lagi jalur yang harus dilewati ada jalan menanjak dan menurun serta melewati
beberapa aliran sungai yang bisa sewaktu-waktu banjir. Keadaan disana pun tidak
ada guru yang mengajar disana. Praktis jika saya disana, saya akan hidup
seorang diri karena jarak rumah guru dan kampung warga cukup jauh. Belum lagi
cuaca yang sangat dingin disana. Apalagi selang beberapa hari saya di Ubrub,
saya mendapatkan kabar dari Tentara yang ada di Ubrub bahwa baru saja ada satu
Tentara yang meninggal dunia disana akibat terlambat dievakuasi karena disana
tidak ada petugas kesehatan. Alhasil informasi-informasi tersebut berhasil
membuat nyali saya semakin menciut dan meningkatkan kegalauan. Langsung ketika
mendapat sinyal saya langsung memberi tahu Bapak Irianto tentang
informasi-informasi tersebut dan saya minta kebijaksanaannya untuk dipindah
tugas ke tempat yang lebih mudah dijangkau. Beliau pun hanya menjawab bersabar
terlebih dahulu dan menunggu kabar dari Kepsek SD YPPK Akarinda dengan jangka
waktu satu minggu. Jika dalam kurun waktu satu minggu tidak ada kepastian dari
Kepsek, segera hubungi Dinas kembali. Oke, satu minggu pun terlewati tanpa
kabar dari Kepala Sekolah. Akhirnya saya nekat naik ke bukit sinyal karena
penguat sinyal di Pos TNI sedang rusak. Saya harus melalui trek dengan jalan menanjak
yang sangat terjal yang ditempuh dengan jalan kaki 40 menit guna meminta
kepastian dari Dinas. Akhirnya kabar terbaru pun saya dapatkan bahwa 3 orang
yang di tempatkan di Molof, Yambrab, dan Akarinda dipindah tempat tugas ke Arso
Timur. Namun keputusan itu pun masih belum final dan baru wacana belum
direalisasikan lewat SK Kepala Dinas P dan P Kab Keerom. Bapak Irianto hanya
berpesan tunggu saja penjemputan dari Dinas akan ke Ubrub dan mengantarkan ke
tempat penempatan yang baru. Namun hingga akhir bulan tidak ada satu mobil
Dinas pun yang menjemput kami berdua (saya dan Azis). Akhirnya kami memutuskan
untuk turun sendiri ke kota dengan mobil sewaan milik warga dengan biaya kami
pribadi dan mengangkut semua barang-barang kami sekaligus menyusun laporan
bulanan di kota.
Untuk keseharian kami
bertiga disini pun mempunyai banyak saudara baru di Kampung Umuaf sini. Bisa
dibilang saya betah hidup di Ubrub. Yang pertama karena sikap ramah para
warganya; yang kedua keadaan alam dan cuaca di Ubrub yang cukup baik menurut
saya dimana saya bisa mandi setiap hari di sungai yang mengalir cukup deras,
cuaca yang walaupun berubah-ubah namun tidak terlalu dingin dan tidak terlalu
panas, sedikitnya nyamuk disini dan tidak saya temui di daerah Keerom yang lain
bahkan saya tidak pernah tidur menggunakan lotion anti nyamuk ataupun kelambu;
Yang ketiga karena sudah dekatnya kami bertiga dengan orang-orang Paroki yang
berasal dari Manggarai NTT sangat baik terhadap kami. Setiap hari kami selalu
berkunjung ke Paroki Santo Bonifasius Ubrub Keuskupan Jayapura bercengkrama
dengan Pastor Willy, Frater Sersi, dan Bang Ferdy (Guru Paud) yang juga tinggal
di Paroki atau masyarakat biasa menyebut Pastoran. Bahkan oleh orang proyek
yang sedang membangun jalan ke Yambrab, kami bertiga, Sersi, dan Bang Ferdy
disebut Pastoran bersaudara karena kemana-mana kami selalu bersama. Sering
bergaul dengan orang-orang Paroki pun saya menjadi lebih memahami arti
toleransi beragama. Bahkan ketika akan memotong ayam milik Pastor guna dibuat
campuran Papeda, kami bertiga ditawari untuk memotong ayam tersebut karena
ternyata mereka mengerti bahwa di agama Islam haram hukumnya makan daging yang
disembelih oleh orang non-muslim. Renang di sungai, bermain voly di Pos TNI,
masak bersama, pergi ke kampung, dan berkebun merupakan keseharian kami berlima
di Ubrub selama sebulan ini. Karena kebersamaan ini juga selain saya harus
belajar bahasa Papua, sedikit demi sedikit saya pun mengerti bahasa Manggarai
NTT karena orang-orang Paroki semua berasal darisana.
Namun kebersamaan kami
akhirnya harus berakhir lebih awal karena saya dan Azis dipindah tugaskan ke
Arso Timur. Sebenarnya saya sudah betah tinggal di Ubrub ini karena telah
menemukan banyak saudara baru mulai dari guru, warga, bang Ferdy, Sersi, Pastor
Willy, dan paling berat meninggalkan anak didik kami di SD YPPK Ubrub yang
sudah saya anggap seperti adik saya sendiri. Ada hikmah tersendiri selama
tinggal bertiga di Ubrub. Saya jadi bisa belajar menanak nasi dan mengolah
sayur dari dua orang teman RGSB yang luar biasa ini, Saya juga menjadi bisa
membuat api dari kayu tanpa bantuan minyak tanah. Sungguh pengalaman sebulan di
Ubrub ini akan menjadi sangat berharga di tempat penempatan yang baru nanti
yaitu Arso Timur. Semoga ke depan saya masih sempat berkunjung kembali ke Ubrub
sebelum meninggalkan Papua di Bulan Juni nanti.
Web,
Kabupaten Keerom - September 2014
Bagus
Dwi Minarno