Rabu, 16 September 2015

Desember singkat di Ubrub



            Awal bulan ini tidak seperti biasanya sekolah terlihat lebih ramai dari hari-hari sebelumnya. Hal ini disebabkan karena guru-guru yang sudah dua bulan lebih berada di kota kembali naik ke Ubrub dan seminggu pertama bulan ini dijadikan sebagai minggu pemantapan untuk menghadapi Ujian Akhir Semester (UAS) 1 yang rencananya akan diselenggarakan di minggu kedua bulan Desember 2014. Jadi selama seminggu pertama bulan ini semua siswa diwajibkan untuk berangkat sekolah tanpa pengecualian karena guru-guru yang baru naik dari kota akan menjejali otak murid-murid dengan materi-materi yang akan diujikan. Hal ini tentu sangat disayangkan karena dari pengalaman saya mengajar di kelas VI selama kurang lebih 3 bulan pun materi yang saya ajarkan tidak terlalu banyak karena kemampuan daya tangkap dan kerja logika dari siswa yang masih sangat kurang baik. Keadaan yang demikian memaksa saya untuk mengulang-ulang materi yang sama terutama dalam hal baca tulis hitung (calistung).serta budi pekerti. Saya yang hanya berperan relawan guru di sekolah tersebut pun hanya bisa mempertahankan kelas yang saya ajar agar tidak diracuni oleh guru-guru yang buta kondisi kemampuan siswanya. Karena guru-guru yang baru naik dari kota ini biasanya mengajarkan materi yang sama persis dengan materi yang tercantum dalam buku paket. Padahal kemampuan siswanya belum tentu menguasai materi tersebut karena materi dasarnya saja banyak siswa yang belum lancar bahkan tidak bisa sama sekali. Jadi bagaimana siswa mampu mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan menguasainya bisa dibilang akan sulit tercapai jika guru-guru lokal tersebut masih menerapkan sistem yang demikian.


Gambar. Kepala Sekolah dan para Dewan Guru sedang mengumunkan akan dilaksanakannya Ujian Semester Ganjil kepada para siswa SD YPPK Ubrub

            Pekan pertama bulan Desember ini yang ditetapkan oleh kepala sekolah sebagai minggu pemantapan materi saya gunakan hanya untuk mengulas kembali materi yang pernah saya ajarkan selama tiga bulan ini dan bagi saya bukan merupakan pekan yang begitu penting. Karena bagi saya hasil belajar siswa bukan hanya dilihat dari nilai ujian saja namun yang paling terpenting adalah nilai yang ada selama proses pembelajaran berlangsung. Karena hakikat pendidikan yang terpenting terletak pada bagaimana proses siswa dalam belajar dan bukan semata-mata melihat bagaimana hasil dari ujian mereka. Karena sesungguhnya pendidikan itu adalah bagaimana mengarahkan manusia dari yang sebelumnya tidak baik menjadi baik atau dari yang sebelumnya tidak tahu sehingga akhirnya menjadi tahu, bukannya merubah manusia menghalalkan segala cara demi mendapatkan sebuah nilai bagus.

Gambar. Saya sedang mengajari salah satu murid kelas VI (Melkias Tuu) tentang cara mengerjakan soal hitung campuran


            Akhirnya yang dinanti-nati pun tiba, Ujian Akhir Semester (UAS) 1 bagi siswa-siswi SD YPPK Ubrub pun dimulai hari Senin tanggal 8 Desember 2014. Walaupun pelaksanaan UAS 1 di Ubrub bisa dibilang paling terakhir dari sekolah lain di lingkup kabupaten Keerom, namun tidak menyurutkan semangat anak-anak untuk tetap mengikuti ujian. Namun ada hal yang mengganjal di hari pertama pelaksanaan UAS 1 kali ini, yaitu hadirnya murid siluman yang ikut dalam ujian. Ia adalah murid kelas VI bernama Sior yang tidak pernah berangkat sekolah selama satu semester ini dan tiba-tiba hadir di dalam kelas mengikuti ujian setelah mendapatkan ijin dari guru lokal setempat. Saya sendiri yang notabene guru kelas VI sebenarnya merasa keberatan dengan diijinkannya Sior mengikuti UAS 1 tanpa pernah berangkat sebelumnya. Tapi apa daya, saya yang hanya menjadi relawan guru disini pun tidak bisa berbuat banyak untuk melarangnya karena keputusan itu hanya bisa diambil oleh pihak sekolah. UAS 1 pun berjalan cukup lancar dengan sedikit kendala misalnya banyak siswa yang tidak berangkat pada hari keempat pelaksanaan UAS 1 karena hujan turun cukup lebat malam sebelumnya sehingga menyebabkan Kali Em banjir sehingga menyulitkan siswa yang tinggal di Kampung Ujung Lapangan. Namun keadaan demikian bisa saya atasi dengan mengadakan ujian susulan di hari Jumat dan Sabtu.

Gambar. Perjuangan anak-anak untuk mengikuti Ujian Semester Ganjil

Gambar. Pelaksanaan Ujian Semester Ganjil di SD YPPK Ubrub

            Setelah merekap semua nilai siswa kelas VI dan menyerahkannya kepada wali kelas VI yaitu Ibu Devota, akhirnya tugas saya di semester ini sudah selesai. Masalah rekap nilai di buku rapor, Kepala Sekolah sedang mengusahakan pengadaan buku rapor baru karena rapor siswa banyak yang hilang dan memiliki banyak versi sehingga perlu disamakan. Karena tugas saya telah selesai, maka dari itu saya bisa turun kota untuk menyusun dan mengirim laporan bulanan kepada pihak Pertamina Foundation tepat sehari seusai UAS 1 selesai yaitu pada hari Minggu tanggal 15 Desember 2014. Saya beserta dua rekan RGSB lainnya yaitu Anggi dan Azis berangkat menggunakan mobil sewaan yang telah dipesan Kepala Sekolah sehari sebelumnya. Kami meluncur dari Ubrub usai ibadah hari Minggu di gereja sekitar pukul 11:00 WIT dan setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan akhirnya kami tiba di Kota Jayapura sekitar pukul 18:00 WIT. Rekan-rekan RGSB yang bertugas di Keerom telah sepakat bahwa libur semester ini akan mengontrak rumah ataupun indekost. Dan akhirnya kami sepakat untuk indekost di daerah Dok 5 Atas Kota Jayapura karena merupakan milik saudara dari rekan RGSB Azis, dengan harga sewa Rp 250.000,- / orang sudah termasuk listrik dan air.
            Namun saya dan rekan RGSB Anggi hanya 3 hari saja di Kota Jayapura. MENGAPA saya dan RGSB Anggi hanya 3 hari di Kota Jayapura? Ingin tahu kisah selanjutnya? Tunggu kisah berikutnya tentang perjalanan saya mengunjungi “The Most Wanted Place on Indonesia”....



Papua, Desember 2014




Bagus Dwi Minarno

Kamis, 10 September 2015

November (No I've Remember) on Ubrub


November (No I've Remember) on Ubrub


        Di awal bulan November ini, masyarakat Ubrub, Distrik Web mempunyai hajat besar yaitu pergantian Pastor Paroki ST. Bonifasius Ubrub dari Pastor Willi digantikan oleh Pastor Fellixs dimana keduanya sama-sama berasal dari Nusa Tenggara Timur. Acara pergantian Pastor Paroki juga sangat meriah. Acara dimulai dari pagi hari setelah ibadah Misa Minggu dengan tamu dari Dekenat Keerom dan Keuskupan Jayapura dan dilanjut sore hari hingga pagi hari lagi. Acara pelepasan Pastor lama yaitu Pastor Willi dan Penyambutan Pastor baru yaitu Pastor Fellixs itu sendiri sangat menyita banyak tenaga masyarakat hingga murid-murid SD YPPK Ubrub harus ikut terlibat mulai dari pra-acara hingga pasca acara. Acara dimulai di Gereja setelah Misa dengan membacakan SK Pergantian Pastor Paroki yang dibacakan oleh Pastor dari Keuskupan Jayapura dan Dekenat Keerom. Setelah itu di sore hari menjelang petang acara dilanjutkan dengan dibuka oleh tarian adat khas Web yaitu tarian Ikat Kepala (Kepala Pendek). Saya sendiri baru mengetahui pakaian khas tarian adat disini ternyata banyak menggunakan daun-daun dari tanaman yang banyak tumbuh di sekitar masyarakat Web. Saya kira pakaian khas dari Papua hampir semua sama yaitu menggunakan rumbai-rumbai dan koteka. Namun ternyata beda daerah juga beda pakaian adatnya. Sungguh kaya kebudayaan di Indonesia ini.

Gambar. Pakaian adat tarian Ikat Kepala Pendek khas Distrik Web Kab. Keerom

          Ada hal unik yang saya temui disini, terutama dalam hal berpidato atau berbicara di depan massa. Dalam acara pergantian Pastor Paroki Ubrub yang lalu, sangat banyak masyarakat yang memberikan sambutan. Mulai dari jajaran Pastor, Perwakilan pejabat kampung, pejabat distrik, perwakilan Dewan Paroki, hingga perwakilan Gereja dari kampung-kampung sekitar Ubrub yang tentu tidak sedikit. Mereka berbicara pun tidak sebentar, kemudian pembicaraannya hanya berputar-putar saja dan terkesan kurang begitu penting dengan bahasa tingkat “tinggi” yang tentu mereka sendiri belum tentu paham betul maknanya. Maka dari itu pada sesi sambutan-sambutan tadi memakan waktu sangat lama hingga 2 jam lamanya. Hal ini tentu sangat berbanding terbalik 180 derajat dengan murid-murid saya yang sangat malu untuk berbicara di depan kelas. Entah apa yang membuat hal demikian sangat berbanding terbalik.
             Hal unik kedua yang hanya saya temui disini adalah masyaraat disini lebih menyukai lagu-lagu dengan ritme disko daripada dangdut. Mereka juga sangat fasih dalam bergoyang di lagu dengan ritme disko. Saat sesi hiburan dalam acara pergantian Pastor Paroki Ubrub yang lalu, dengan memutar lagu-lagu ritme disko, masyarakat dari anak kecil hingga orang tua pun bergoyang riang hingga pagi hari tiba. Aneh memang, mereka kuat berdiri bergoyang-goyang selama berjam-jam. Saya pun hanya kuat hingga pukul 01.00 dinihari, itu saja kaki sudah lemas sekali. Untuk itu jika anda mengaku jago dalam bergoyang terutama menari ala breakdance, datanglah kesini. Saya pastikan anda akan menjadi trendsetter di depan anak-anak.

Gambar. (dari kiri) Pastor Willi, Pastor (Dekan) Roni, Pastor (OSA Jayapura), Pastor Fellix saat malam perpisahan Pater Willi dengan masyarakat Ubrub.

            Selain cerita tentang acara pergantian Pastor Paroki Ubrub di atas, bulan November ini banyak cerita menarik yang ingin saya tuliskan disini. Mulai dari kondisi pemukiman para warga asal kampung Somografi yang cukup memprihatinkan, acara adat penyembuhan orang sakit yang berlangsung berhari-hari, perjalanan ke kampung Yamrab mengantarkan rekan RGSB Azis, dan masih banyak lagi.

Ironi Kampung Ujung Lapangan
         Saat pertengahan bulan November ini, sore hari ketika saya dan rekan RGSB Anggi sedang bersantai sambil menunggu jam mandi, kami diajak oleh Bang Ferdi untuk mencari pisang masak di Kampung Ujung Lapangan. Kampung Ujung Lapangan merupakan pemukiman kecil di seberang Kali Em yang dihuni oleh masyarakat asal kampung Somografi. Kampung Somografi itu sendiri terletak sangat jauh. Jika akan menuju kesana harus ditempuh dengan berjalan kaki menembus hutan yang lebat dan melewati beberapa sungai selama kurang lebih 8 jam perjalanan (ukuran orang lokal). Maka dari itu masyarakat Somografi membuat pemukiman untuk tempat tinggal sementara ataupun menetap cukup lama jika ada keperluan di Ubrub seperti bersekolah. Setengah dari murid saya di Kelas VI merupakan murid pindahan dari kampung Somografi. Maka dari itu mereka semua tinggal sementara di kampung ujung lapangan hingga lulus. Kondisi pemukiman di kampung ujung lapangan bisa dibilang sangat memprihatinkan. Rumah-rumah disana beratapkan daun sagu, berdinding pelepah sagu, dan beralaskan papan kayu yang dibuat rumah panggung. Tentu kondisi ini sangat berbeda dengan keadaan rumah masyarakat Ubrub yang ada di kampung Umuaf yang sudah semi-permanen dengan kayu dan seng.

Gambar. Salah satu rumah yang ada di area Kampung Ujung Lapangan

          Kondisi di dalam rumah pun terlihat seadanya tanpa sekat dan ruang pemisah antara dapur dan kamar. Saya sendiri selama kurang lebih hampir 3 bulan di Ubrub baru bisa berkunjung kesini. Hal ini seakan membukakan mata saya bahwa masih banyak masyarakat Indonesia di pedalaman yang belum bisa dikatakan layak secara standar hidup masyarakat Indonesia. Masyarakat kampung ujung lapangan sendiri jarang mengkonsumsi beras karena mengandalkan beras bantuan BK3 dari pemerintah daerah. Namun dengan keterbatasan yang ada, murid-murid saya yang berasal dari sini layak diberi apresiasi khusus. Karena mereka harus berjuang menuntut ilmu melewati derasnya aliran Kali Em dan jika sungai banjir tidak jarang mereka terpaksa tidak bisa berangkat sekolah. Murid-murid saya yang tinggal di kampung ujung lapangan pun sangat penurut dan rajin jika dibandingkan dengan anak-anak asli dari kampung Umuaf. Walaupun daya tangkap mereka bisa dibilang masih kalah dari anak-anak Umuaf namun mereka mau belajar dan tidak banyak bertingkah. Jujur saja saya lebih menyukai murid-murid pindahan ini daripada murid-murid asli Ubrub karena mereka mempunyai semangat belajar serta mau mendengarkan apa yang saya katakan.
Gambar. Perjuangan anak-anak dari Kampung Ujung Lapangan untuk secercah harapan baru

Tradisi Adat Ikat Kepala sebagai Sarana Penyembuh
             Pertengahan November ini mendadak sekolah menjadi sepi dan hanya beberapa anak saja yang berangkat. Selain karena semua guru PNS sedang berada di kota untuk Pelatihan Kurikulum 2013, juga karena ada acara adat penyembuhan orang sakit “ikat kepala (kepala panjang)” di kampung sebelah, Kampung Onggalom. Pak Didimus selaku satu-satunya guru PNS yang masih tinggal di Ubrub memberikan instruksi kepada kami para Relawan Guru Sobat Bumi yang membantu di Ubrub untuk meliburkan sekolah saja selama seminggu saat semua guru PNS nanti pelatihan kurikulum 2013 di kota. Karena memang selain karena tidak ada guru PNS juga di kampung sebelah ada acara adat dan biasanya jika ada acara adat seperti itu, anak-anak banyak yang tidak berangkat sekolah. Namun saya dan dua rekan RGSB yang lain memutuskan akan tetap mengajar jika ada murid yang berangkat sebagai bentuk tanggung jawab kami. Dan benar saja, selama seminggu itu saya hanya mengajar di hari Senin dan 5 hari setelahnya sekolah sepi karena siswa yang berangkat bisa dihitung dengan jari. Karena penasaran, akhirnya saya dan rekan RGSB Azis berangkat menuju Kampung Onggalom beserta Frater Sersius dan Pastor Fellixs yang kebetulan juga diundang kesana untuk memimpin doa pada acara puncak Ritual adat tersebut.

Gambar. Saat Perjalanan menuju Kampung Onggalom di siang bolong.

              Siang hari yang cerah dengan guyuran sinar matahari yang terik, kami berempat pun berangkat ke Kampung Onggalom dengan berjalanan kaki. Langkah demi langkah dengan trek berbatu dan jalanan yang menanjak serta menurun pun menjadi santapan kami siang itu. Alhasil deru napas kami semakin cepat dan kelenjar keringat pun segera menghasilkan bulir-bulir keringat yang berhasil membuat kami merindukan setetes air minum. Sialnya kami berangkat hanya dengan tangan kosong tanpa membawa bekal air minum satu tetes pun. Beruntung di tengah perjalanan, kami bertemu sosok baik hati yaitu rombongan mobil Bapak Dani (Ketua Dewan Paroki Ubrub) yang akan menuju kembali ke Ubrub setelah dari kota. Setelah berbincang-bincang sekejap, kami pun diberi 2 botol air minum ukuran sedang. Namun saya tak habis pikir tentang cara berpikir Pastor Fellixs. Dari 2 botol yang kami dapat tadi, 1 botol ia minum sendiri tanpa mempedulikan kami bertiga yang minum hanya 1 botol saja. Alih-alih memberikan sisa air minumnya kepada kami, malahan sisa air minum yang tersisa di botol ia gunakan untuk mengguyur kepalanya. Sungguh unpredictable Pastor baru ini. Saya pun hanya bisa mengelus dada atas kejadian ini.
                Setelah berjalan kaki selama 1,5 jam, akhirnya kami tiba di kampung Onggalom. Bagitu tiba disana saya melihat rombongan penari berpakaian khas tarian ikat kepala (kepala panjang) dengan berpakaian daun-daun dan kayu di atas kepala yang menjulang tinggi ke atas kira-kira setinggi 1,5 hingga 2 meter dengan beberapa hiasan etnik khas Papua. Jujur bagi pendatang baru seperti saya, para penari tadi terlihat agak menyeramkan. Mungkin jika di Jawa, akan banyak anak kecil yang lari ketakutan jika melihat para penari tarian ikat kepala (Kepala Panjang). Tarian adat ikat kepala terdiri atas 2 macam, yaitu kepala pendek dan kepala panjang. Khusus kepala panjang, diperuntukan untuk ritual penyembuhan orang sakit dan kebangkitan arwah leluhur serta hanya dimainkan di siang hari atau selama matahari muncul. Namun dalam tarian ikat kepala (kepala panjang) pun, tetap harus ada penari kepala pendek sebagai syarat orang yang akan menyembuhkan. Perbedaan yang mencolok antara kepala pendek dan kepala panjang adalah ada pada kostum atau pakaian yang dipakai beserta hiasannya. Jika kepala panjang terlihat simpel di kostum yang dipakai sehingga hanya terlihat kakinya saja dengan rumbai-rumbai daun yang menutupi kepala hingga paha, beda halnya dengan kostum penari kepala pendek. Kostum dari penari kepala pendek terlihat lebih berwarna dan lebih kompleks karena terdiri dari dedaunan yang berasal dari beberapa jenis tanaman, bulu-bulu dari beberapa jenis burung, taring babi, serta noken besar yang ada di punggung penarinya. Namun yang paling mencolok adalah hiasan di atas kepala-lah yang membedakan. Hiasan kepala di penari kepala pendek hanya beberapa cm saja di atas kepala, sedangkan hiasan kepala yang ada di penari kepala panjang sangat tinggi menjulang dengan ornamen-ornamen kayu serta pernak-pernik lain yang sangat etnik. Selain itu juga cabang hiasan kepala pada kepala panjang ada beberapa macam, terdiri dari satu hingga empat cabang.

Gambar. Para penari "Ikat Kepala Panjang" mulai memasuki area ritual

             Setelah menunggu hampir dua jam lamanya, akhirnya acara ritual puncak penyembuhan orang sakit pun dimulai. Pertama-tama sekitar sepuluh penari kepala panjang dengan kaki hitam memasuki area ritual dengan diikuti penari wanita yang langsung memegangi helai daun pakaian penari kepala panjang. Selang beberapa menit, penari kepala panjang dengan kaki cokelat muda memasuki area ritual disusul empat penari kepala pendek. Setelah itu Pace Jordan (Orang yang akan disembuhkan) beserta keluarganya dipersilahkan duduk di bangku yang telah disiapkan di tengah area ritual. Ritual dimulai dengan doa yang dipimpin oleh Pastor Fellixs.. Kemudian dua penari kepala panjang yang ujung hiasan kepalanya berbentuk bulat dipersatukan di tengah area ritual sehingga membentuk suatu terowongan dimana orang yang akan disembuhkan ada di bawahnya. Kemudian salah satu penari kepala pendek mengoleskan tanah liat khusus yang telah diberkati sebelumnya ke beberapa bagian badan Pace Jordan beserta keluarganya termasuk anaknya yang paling kecil yang merupakan anak Albino. Setelah itu semua penari mulai melakukan tari-tarian ke segala penjuru arah dan memainkan alat musik khas Papua mulai dari Tifa hingga terompet tiup yang berbentuk juga seperti tifa. Saya sendiri kurang begitu mengerti pakem arah gerakan penari-penari tersebut dalam ritual tadi. Namun yang jelas ritual ikat kepala panjang sangat jarang dimainkan karena hanya diadakan jika ada masyarakat yang ingin disembuhkan secara tradisional. Untuk itu saya merasa beruntung bisa melihat langsung ritual tersebut walaupun harus berjalan kaki begitu jauh.


Gambar. Saat ritual penyembuhan sedang berlangsung

                           Berbicara mengenai anak Albino yang terlibat dalam ritual penyembuhan di atas, saya menemukan hal unik disini terutama di kampung Onggalom ini. Walapun kampung Onggalom hanya terdiri dari 10 rumah, namun terdapat dua anak Albino disini dimana mereka merupakan kakak-beradik. Albino sendiri setahu saya merupakan kelainan genetik dimana orang tersebut kehilangan pigmen warna mulai dari rambut, kulit, hingga warna bola mata. Sehingga jika ada orang Albino di Papua tentu akan sangat nampak jelas berbeda dengan masyarakat disini. Selain di kampung Onggalom, ada satu lagi anak Albino yang saya tahu tinggal di kampung Yuruf dimana anak tersebut telah remaja. Namun anak-anak Albino disini sangat memprihatinkan dimana kulitnya banyak terdapat flek-flek hitam karena terlalu lama terpapar sengatan sinar Matahari. Karena panas sinar matahari siang di Papua sangat berbeda dengan panas di pulau Jawa karena jarak garis lintang dengan garis Khatulistiwa lebih dekat. Maka dari itu panas sinar matahari siang Papua akan sangat menyengat di kulit.

Perjalanan nan ajib ke Kampung Yamrab
                Minggu pagi tanggal 23 November 2014 sekitar jam 7 pagi, kami bersembilan yaitu saya, rekan RGSB Anggi dan Azis, Frater Sersius, Pastor Fellixs, dan 4 siswa SMP lainnya bertolak dari Ubrub untuk menuju Kampung Yamrab. Tujuan kami kesana adalah mengantarkan Frater Sersius dan rekan RGSB Azis untuk menetap disana. Tempat tugas rekan RGSB Azis yang sebenarnya adalah di SD YPPK Yamrab namun karena dari Dinas P dan P dan Kepala Sekolah tidak ada kejelasan maka sementara ia berada di Ubrub bersama saya dan rekan RGSB Anggi. Sementara Frater Sersius telah ditugaskan oleh Pastor Fellixs tinggal sementara disana untuk memberi layanan keagamaan di Gereja Yamrab 1. Maka dari itu setelah mengetahui Frater Sersius akan tinggal di Yamrab, rekan RGSB Azis mau berpindah penempatan ke Yamrab karena ada yang menemaninya.


Gambar. Perjalanan menuju Kampung Yamrab dengan berbagai barang bawaan
melalui jalan yang basah dan berlumpur.

                 Perjalan kami diiringi gerimis sepanjang jalan yang mendaki dan menurun serta sedikit becek karena malam harinya hujan turun lumayan deras. Beberapa kali kami pun harus melewati kali yang jembatannya belum jadi. Namun perjalanan ke Yamrab ini masih lebih baik daripada perjalanan ke Kampung Onggalom. Sepanjang perjalanan pun kami disuguhi pemandangan luar biasa berupa hamparan perbukitan, hutan yang masih sangat lebat, dan kabut yang sempat turun serta udara sejuk ala pedalaman yang tidak akan saya temukan di kota asal saya yaitu Kota Tegal yang sudah sangat padat penduduk. Setelah berjalan kaki selama 1 jam 15 menit, akhirnya kami tiba di Gereja Yamrab 1. Kondisi lingkungan dari Kampung Yamrab sedikit berbeda dengan kampung Umuaf dimana perkampungannya terlihat rapi dan bersih serta cuacanya yang sejuk dengan pepohonan rindang yang banyak tumbuh di sekitar Gereja. Masyarakat Yamrab pun nampak lebih ramah jika dibanding masyarakat Umuaf. Hal ini terlihat dari sambutan mereka ketika kami tiba disana dan saat perkenalan kami setelah Ibadah Misa hari Minggu oleh Pastor Fellixs. Setelah dijamu dan istirahat sejenak, akhirnya kami harus meninggalkan rekan RGSB Azis dan Frater Sersius untuk kembali ke Ubrub. Sekitar pukul 12 siang kami pulang menuju Ubrub dengan berjalan kaki kembali ditemani terik Matahari yang mulai menunjukkan sinarnya setelah mendung daritadi pagi. Perjalanan pulang terasa lebih berat karena udara mulai panas yang akhirnya memaksa saya untuk membuka baju setelah setengah perjalanan. Akhirnya sekitar pukul 1 siang, saya dan rekan RGSB Anggi tiba di Ubrub sementara rombongan Pastor Fellixs dan siswa-siswa SMP kami tinggalkan di belakang karena terlalu menikmati perjalanan.

Gambar. Pater Fellix sedang memperkenalkan rekan RGSB Azis dan Frater Sersius yang akan tinggal beberapa waktu di Yamrab.



Gambar. Perjalanan kembali ke Ubrub

            Secara keseluruhan bulan November ini lebih memberikan kesan daripada bulan lalu dan masih banyak cerita-cerita menarik lainnya yang kiranya tidak bisa saya tuliskan semuanya disini. Namun bulan ini kehidupan saya agak sedikit lebih “bersuara” daripada bulan-bulan sebelumnya terutama jika di dalam rumah. Karena rumah sebelah yang merupakan rumah dari Bapak Didimus bulan ini kembali dihuninya beserta keluarganya. Bapak Didimus sendiri merupakan guru PNS asli dari Ubrub namun keluarganya tinggal di kota. Bulan ini mereka pindah kembali ke Ubrub karena menurut rencana, Pak Didimus akan menjadi kepala sekolah di SD YPPK Ubrub menggantikan Bapak Vincent yang akan menjadi kepala sekolah di SD YPPK Amgotro bulan Januari nanti. Bapak Didimus mempunyai seorang istri dan empat orang anak yang masih kecil-kecil dimana anak yang paling besar baru menginjak kelas 3 SD. Tiada hari tanpa tangisan selama mereka disini. Pagi, siang, ataupun malam, selalu saja anak-anak dari Pak Didimus berkelahi dan menangis. Jujur suara-suara tersebut sangat mengganggu saya karena bulan-bulan lalu kehidupan kami tenteram tanpa gangguan. Tempat penampungan air hujan sebagai sumber air minum dan mencuci alat-alat masak pun cepat sekali habis. Itu karena ulah dari anak-anak Pak Didimus yang sering bermain air. Saya sebagai pendatang pun tidak bisa berbuat apa-apa. Walaupun sebenarnya ingin rasanya saya memarahi mereka ketika berulah. Namun itu semua akan coba saya hadapi dan nikmati ke depannya. Semoga bulan-bulan selanjutnya hingga akhir masa tugas, saya masih tetap disini, yaitu Ubrub Distrik Web Kabupaten Keerom dan tidak dipindahkan ke tempat lain karena menurut saya sudah terlambat kiranya jika Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kab Keerom akan memindah tugaskan saya ke tempat lain. Karena jika ingin demikian seharusnya dari awal penempatan mereka seyogyanya memperlakukan kami dengan layak dan tidak seenaknya sendiri. Demikian cerita dari saya di bulan November 2014.


Web, Kabupaten Keerom




BAGUS  DWI  MINARNO