November (No I've Remember) on Ubrub
Di awal bulan November ini,
masyarakat Ubrub, Distrik Web mempunyai hajat besar yaitu pergantian Pastor
Paroki ST. Bonifasius Ubrub dari Pastor Willi digantikan oleh Pastor Fellixs
dimana keduanya sama-sama berasal dari Nusa Tenggara Timur. Acara pergantian Pastor
Paroki juga sangat meriah. Acara dimulai dari pagi hari setelah ibadah Misa
Minggu dengan tamu dari Dekenat Keerom dan Keuskupan Jayapura dan dilanjut sore
hari hingga pagi hari lagi. Acara pelepasan Pastor lama yaitu Pastor Willi dan
Penyambutan Pastor baru yaitu Pastor Fellixs itu sendiri sangat menyita banyak
tenaga masyarakat hingga murid-murid SD YPPK Ubrub harus ikut terlibat mulai
dari pra-acara hingga pasca acara. Acara dimulai di Gereja setelah Misa dengan
membacakan SK Pergantian Pastor Paroki yang dibacakan oleh Pastor dari
Keuskupan Jayapura dan Dekenat Keerom. Setelah itu di sore hari menjelang
petang acara dilanjutkan dengan dibuka oleh tarian adat khas Web yaitu tarian
Ikat Kepala (Kepala Pendek). Saya sendiri baru mengetahui pakaian khas tarian
adat disini ternyata banyak menggunakan daun-daun dari tanaman yang banyak
tumbuh di sekitar masyarakat Web. Saya kira pakaian khas dari Papua hampir
semua sama yaitu menggunakan rumbai-rumbai dan koteka. Namun ternyata beda
daerah juga beda pakaian adatnya. Sungguh kaya kebudayaan di Indonesia ini.
Gambar. Pakaian adat tarian Ikat Kepala Pendek khas Distrik Web Kab. Keerom
Ada hal unik yang saya temui
disini, terutama dalam hal berpidato atau berbicara di depan massa. Dalam acara
pergantian Pastor Paroki Ubrub yang lalu, sangat banyak masyarakat yang
memberikan sambutan. Mulai dari jajaran Pastor, Perwakilan pejabat kampung,
pejabat distrik, perwakilan Dewan Paroki, hingga perwakilan Gereja dari
kampung-kampung sekitar Ubrub yang tentu tidak sedikit. Mereka berbicara pun tidak
sebentar, kemudian pembicaraannya hanya berputar-putar saja dan terkesan kurang
begitu penting dengan bahasa tingkat “tinggi” yang tentu mereka sendiri belum
tentu paham betul maknanya. Maka dari itu pada sesi sambutan-sambutan tadi
memakan waktu sangat lama hingga 2 jam lamanya. Hal ini tentu sangat berbanding
terbalik 180 derajat dengan murid-murid saya yang sangat malu untuk berbicara
di depan kelas. Entah apa yang membuat hal demikian sangat berbanding terbalik.
Hal unik kedua yang hanya
saya temui disini adalah masyaraat disini lebih menyukai lagu-lagu dengan ritme
disko daripada dangdut. Mereka juga sangat fasih dalam bergoyang di lagu dengan
ritme disko. Saat sesi hiburan dalam acara pergantian Pastor Paroki Ubrub yang
lalu, dengan memutar lagu-lagu ritme disko, masyarakat dari anak kecil hingga
orang tua pun bergoyang riang hingga pagi hari tiba. Aneh memang, mereka kuat
berdiri bergoyang-goyang selama berjam-jam. Saya pun hanya kuat hingga pukul
01.00 dinihari, itu saja kaki sudah lemas sekali. Untuk itu jika anda mengaku
jago dalam bergoyang terutama menari ala breakdance,
datanglah kesini. Saya pastikan anda akan menjadi trendsetter di depan anak-anak.
Gambar. (dari kiri) Pastor Willi, Pastor (Dekan) Roni, Pastor (OSA Jayapura), Pastor Fellix saat malam perpisahan Pater Willi dengan masyarakat Ubrub.
Selain cerita tentang
acara pergantian Pastor Paroki Ubrub di atas, bulan November ini banyak cerita
menarik yang ingin saya tuliskan disini. Mulai dari kondisi pemukiman para
warga asal kampung Somografi yang cukup memprihatinkan, acara adat penyembuhan
orang sakit yang berlangsung berhari-hari, perjalanan ke kampung Yamrab
mengantarkan rekan RGSB Azis, dan masih banyak lagi.
Ironi
Kampung Ujung Lapangan
Saat pertengahan bulan
November ini, sore hari ketika saya dan rekan RGSB Anggi sedang bersantai
sambil menunggu jam mandi, kami diajak oleh Bang Ferdi untuk mencari pisang
masak di Kampung Ujung Lapangan. Kampung Ujung Lapangan merupakan pemukiman
kecil di seberang Kali Em yang dihuni oleh masyarakat asal kampung Somografi.
Kampung Somografi itu sendiri terletak sangat jauh. Jika akan menuju kesana
harus ditempuh dengan berjalan kaki menembus hutan yang lebat dan melewati
beberapa sungai selama kurang lebih 8 jam perjalanan (ukuran orang lokal). Maka
dari itu masyarakat Somografi membuat pemukiman untuk tempat tinggal sementara
ataupun menetap cukup lama jika ada keperluan di Ubrub seperti bersekolah. Setengah
dari murid saya di Kelas VI merupakan murid pindahan dari kampung Somografi.
Maka dari itu mereka semua tinggal sementara di kampung ujung lapangan hingga
lulus. Kondisi pemukiman di kampung ujung lapangan bisa dibilang sangat
memprihatinkan. Rumah-rumah disana beratapkan daun sagu, berdinding pelepah
sagu, dan beralaskan papan kayu yang dibuat rumah panggung. Tentu kondisi ini
sangat berbeda dengan keadaan rumah masyarakat Ubrub yang ada di kampung Umuaf
yang sudah semi-permanen dengan kayu dan seng.
Gambar. Salah satu rumah yang ada di area Kampung Ujung Lapangan
Kondisi di dalam rumah pun
terlihat seadanya tanpa sekat dan ruang pemisah antara dapur dan kamar. Saya
sendiri selama kurang lebih hampir 3 bulan di Ubrub baru bisa berkunjung
kesini. Hal ini seakan membukakan mata saya bahwa masih banyak masyarakat Indonesia
di pedalaman yang belum bisa dikatakan layak secara standar hidup masyarakat
Indonesia. Masyarakat kampung ujung lapangan sendiri jarang mengkonsumsi beras
karena mengandalkan beras bantuan BK3 dari pemerintah daerah. Namun dengan
keterbatasan yang ada, murid-murid saya yang berasal dari sini layak diberi
apresiasi khusus. Karena mereka harus berjuang menuntut ilmu melewati derasnya
aliran Kali Em dan jika sungai banjir tidak jarang mereka terpaksa tidak bisa
berangkat sekolah. Murid-murid saya yang tinggal di kampung ujung lapangan pun
sangat penurut dan rajin jika dibandingkan dengan anak-anak asli dari kampung
Umuaf. Walaupun daya tangkap mereka bisa dibilang masih kalah dari anak-anak
Umuaf namun mereka mau belajar dan tidak banyak bertingkah. Jujur saja saya
lebih menyukai murid-murid pindahan ini daripada murid-murid asli Ubrub karena
mereka mempunyai semangat belajar serta mau mendengarkan apa yang saya katakan.
Gambar. Perjuangan anak-anak dari Kampung Ujung Lapangan untuk secercah harapan baru
Tradisi
Adat Ikat Kepala sebagai Sarana Penyembuh
Pertengahan November ini
mendadak sekolah menjadi sepi dan hanya beberapa anak saja yang berangkat.
Selain karena semua guru PNS sedang berada di kota untuk Pelatihan Kurikulum
2013, juga karena ada acara adat penyembuhan orang sakit “ikat kepala (kepala panjang)”
di kampung sebelah, Kampung Onggalom. Pak Didimus selaku satu-satunya guru PNS
yang masih tinggal di Ubrub memberikan instruksi kepada kami para Relawan Guru
Sobat Bumi yang membantu di Ubrub untuk meliburkan sekolah saja selama seminggu
saat semua guru PNS nanti pelatihan kurikulum 2013 di kota. Karena memang
selain karena tidak ada guru PNS juga di kampung sebelah ada acara adat dan
biasanya jika ada acara adat seperti itu, anak-anak banyak yang tidak berangkat
sekolah. Namun saya dan dua rekan RGSB yang lain memutuskan akan tetap mengajar
jika ada murid yang berangkat sebagai bentuk tanggung jawab kami. Dan benar
saja, selama seminggu itu saya hanya mengajar di hari Senin dan 5 hari
setelahnya sekolah sepi karena siswa yang berangkat bisa dihitung dengan jari.
Karena penasaran, akhirnya saya dan rekan RGSB Azis berangkat menuju Kampung
Onggalom beserta Frater Sersius dan Pastor Fellixs yang kebetulan juga diundang
kesana untuk memimpin doa pada acara puncak Ritual adat tersebut.
Gambar. Saat Perjalanan menuju Kampung Onggalom di siang bolong.
Siang hari yang cerah dengan
guyuran sinar matahari yang terik, kami berempat pun berangkat ke Kampung
Onggalom dengan berjalanan kaki. Langkah demi langkah dengan trek berbatu dan
jalanan yang menanjak serta menurun pun menjadi santapan kami siang itu.
Alhasil deru napas kami semakin cepat dan kelenjar keringat pun segera
menghasilkan bulir-bulir keringat yang berhasil membuat kami merindukan setetes
air minum. Sialnya kami berangkat hanya dengan tangan kosong tanpa membawa
bekal air minum satu tetes pun. Beruntung di tengah perjalanan, kami bertemu
sosok baik hati yaitu rombongan mobil Bapak Dani (Ketua Dewan Paroki Ubrub)
yang akan menuju kembali ke Ubrub setelah dari kota. Setelah berbincang-bincang
sekejap, kami pun diberi 2 botol air minum ukuran sedang. Namun saya tak habis
pikir tentang cara berpikir Pastor Fellixs. Dari 2 botol yang kami dapat tadi,
1 botol ia minum sendiri tanpa mempedulikan kami bertiga yang minum hanya 1
botol saja. Alih-alih memberikan sisa air minumnya kepada kami, malahan sisa
air minum yang tersisa di botol ia gunakan untuk mengguyur kepalanya. Sungguh unpredictable Pastor baru ini. Saya pun
hanya bisa mengelus dada atas kejadian ini.
Setelah berjalan kaki selama
1,5 jam, akhirnya kami tiba di kampung Onggalom. Bagitu tiba disana saya
melihat rombongan penari berpakaian khas tarian ikat kepala (kepala panjang)
dengan berpakaian daun-daun dan kayu di atas kepala yang menjulang tinggi ke
atas kira-kira setinggi 1,5 hingga 2 meter dengan beberapa hiasan etnik khas
Papua. Jujur bagi pendatang baru seperti saya, para penari tadi terlihat agak
menyeramkan. Mungkin jika di Jawa, akan banyak anak kecil yang lari ketakutan
jika melihat para penari tarian ikat kepala (Kepala Panjang). Tarian adat ikat
kepala terdiri atas 2 macam, yaitu kepala pendek dan kepala panjang. Khusus
kepala panjang, diperuntukan untuk ritual penyembuhan orang sakit dan
kebangkitan arwah leluhur serta hanya dimainkan di siang hari atau selama
matahari muncul. Namun dalam tarian ikat kepala (kepala panjang) pun, tetap
harus ada penari kepala pendek sebagai syarat orang yang akan menyembuhkan.
Perbedaan yang mencolok antara kepala pendek dan kepala panjang adalah ada pada
kostum atau pakaian yang dipakai beserta hiasannya. Jika kepala panjang
terlihat simpel di kostum yang dipakai sehingga hanya terlihat kakinya saja
dengan rumbai-rumbai daun yang menutupi kepala hingga paha, beda halnya dengan
kostum penari kepala pendek. Kostum dari penari kepala pendek terlihat lebih
berwarna dan lebih kompleks karena terdiri dari dedaunan yang berasal dari
beberapa jenis tanaman, bulu-bulu dari beberapa jenis burung, taring babi,
serta noken besar yang ada di punggung penarinya. Namun yang paling mencolok
adalah hiasan di atas kepala-lah yang membedakan. Hiasan kepala di penari
kepala pendek hanya beberapa cm saja di atas kepala, sedangkan hiasan kepala
yang ada di penari kepala panjang sangat tinggi menjulang dengan
ornamen-ornamen kayu serta pernak-pernik lain yang sangat etnik. Selain itu
juga cabang hiasan kepala pada kepala panjang ada beberapa macam, terdiri dari
satu hingga empat cabang.
Gambar. Para penari "Ikat Kepala Panjang" mulai memasuki area ritual
Setelah menunggu hampir dua
jam lamanya, akhirnya acara ritual puncak penyembuhan orang sakit pun dimulai.
Pertama-tama sekitar sepuluh penari kepala panjang dengan kaki hitam memasuki
area ritual dengan diikuti penari wanita yang langsung memegangi helai daun
pakaian penari kepala panjang. Selang beberapa menit, penari kepala panjang
dengan kaki cokelat muda memasuki area ritual disusul empat penari kepala
pendek. Setelah itu Pace Jordan (Orang yang akan disembuhkan) beserta
keluarganya dipersilahkan duduk di bangku yang telah disiapkan di tengah area
ritual. Ritual dimulai dengan doa yang dipimpin oleh Pastor Fellixs.. Kemudian
dua penari kepala panjang yang ujung hiasan kepalanya berbentuk bulat
dipersatukan di tengah area ritual sehingga membentuk suatu terowongan dimana
orang yang akan disembuhkan ada di bawahnya. Kemudian salah satu penari kepala
pendek mengoleskan tanah liat khusus yang telah diberkati sebelumnya ke
beberapa bagian badan Pace Jordan beserta keluarganya termasuk anaknya yang
paling kecil yang merupakan anak Albino. Setelah itu semua penari mulai
melakukan tari-tarian ke segala penjuru arah dan memainkan alat musik khas
Papua mulai dari Tifa hingga terompet tiup yang berbentuk juga seperti tifa.
Saya sendiri kurang begitu mengerti pakem arah gerakan penari-penari tersebut
dalam ritual tadi. Namun yang jelas ritual ikat kepala panjang sangat jarang
dimainkan karena hanya diadakan jika ada masyarakat yang ingin disembuhkan
secara tradisional. Untuk itu saya merasa beruntung bisa melihat langsung
ritual tersebut walaupun harus berjalan kaki begitu jauh.
Gambar. Saat ritual penyembuhan sedang berlangsung
Berbicara mengenai anak
Albino yang terlibat dalam ritual penyembuhan di atas, saya menemukan hal unik
disini terutama di kampung Onggalom ini. Walapun kampung Onggalom hanya terdiri
dari 10 rumah, namun terdapat dua anak Albino disini dimana mereka merupakan
kakak-beradik. Albino sendiri setahu saya merupakan kelainan genetik dimana
orang tersebut kehilangan pigmen warna mulai dari rambut, kulit, hingga warna
bola mata. Sehingga jika ada orang Albino di Papua tentu akan sangat nampak
jelas berbeda dengan masyarakat disini. Selain di kampung Onggalom, ada satu
lagi anak Albino yang saya tahu tinggal di kampung Yuruf dimana anak tersebut
telah remaja. Namun anak-anak Albino disini sangat memprihatinkan dimana
kulitnya banyak terdapat flek-flek hitam karena terlalu lama terpapar sengatan
sinar Matahari. Karena panas sinar matahari siang di Papua sangat berbeda
dengan panas di pulau Jawa karena jarak garis lintang dengan garis Khatulistiwa
lebih dekat. Maka dari itu panas sinar matahari siang Papua akan sangat
menyengat di kulit.
Perjalanan
nan ajib ke Kampung Yamrab
Minggu pagi tanggal 23
November 2014 sekitar jam 7 pagi, kami bersembilan yaitu saya, rekan RGSB Anggi
dan Azis, Frater Sersius, Pastor Fellixs, dan 4 siswa SMP lainnya bertolak dari
Ubrub untuk menuju Kampung Yamrab. Tujuan kami kesana adalah mengantarkan Frater
Sersius dan rekan RGSB Azis untuk menetap disana. Tempat tugas rekan RGSB Azis
yang sebenarnya adalah di SD YPPK Yamrab namun karena dari Dinas P dan P dan
Kepala Sekolah tidak ada kejelasan maka sementara ia berada di Ubrub bersama
saya dan rekan RGSB Anggi. Sementara Frater Sersius telah ditugaskan oleh
Pastor Fellixs tinggal sementara disana untuk memberi layanan keagamaan di
Gereja Yamrab 1. Maka dari itu setelah mengetahui Frater Sersius akan tinggal
di Yamrab, rekan RGSB Azis mau berpindah penempatan ke Yamrab karena ada yang
menemaninya.
Gambar. Perjalanan menuju Kampung Yamrab dengan berbagai barang bawaan
melalui jalan yang basah dan berlumpur.
Perjalan kami diiringi
gerimis sepanjang jalan yang mendaki dan menurun serta sedikit becek karena
malam harinya hujan turun lumayan deras. Beberapa kali kami pun harus melewati
kali yang jembatannya belum jadi. Namun perjalanan ke Yamrab ini masih lebih
baik daripada perjalanan ke Kampung Onggalom. Sepanjang perjalanan pun kami
disuguhi pemandangan luar biasa berupa hamparan perbukitan, hutan yang masih
sangat lebat, dan kabut yang sempat turun serta udara sejuk ala pedalaman yang
tidak akan saya temukan di kota asal saya yaitu Kota Tegal yang sudah sangat
padat penduduk. Setelah berjalan kaki selama 1 jam 15 menit, akhirnya kami tiba
di Gereja Yamrab 1. Kondisi lingkungan dari Kampung Yamrab sedikit berbeda
dengan kampung Umuaf dimana perkampungannya terlihat rapi dan bersih serta
cuacanya yang sejuk dengan pepohonan rindang yang banyak tumbuh di sekitar
Gereja. Masyarakat Yamrab pun nampak lebih ramah jika dibanding masyarakat
Umuaf. Hal ini terlihat dari sambutan mereka ketika kami tiba disana dan saat
perkenalan kami setelah Ibadah Misa hari Minggu oleh Pastor Fellixs. Setelah
dijamu dan istirahat sejenak, akhirnya kami harus meninggalkan rekan RGSB Azis
dan Frater Sersius untuk kembali ke Ubrub. Sekitar pukul 12 siang kami pulang
menuju Ubrub dengan berjalan kaki kembali ditemani terik Matahari yang mulai
menunjukkan sinarnya setelah mendung daritadi pagi. Perjalanan pulang terasa
lebih berat karena udara mulai panas yang akhirnya memaksa saya untuk membuka
baju setelah setengah perjalanan. Akhirnya sekitar pukul 1 siang, saya dan
rekan RGSB Anggi tiba di Ubrub sementara rombongan Pastor Fellixs dan
siswa-siswa SMP kami tinggalkan di belakang karena terlalu menikmati
perjalanan.
Gambar. Pater Fellix sedang memperkenalkan rekan RGSB Azis dan Frater Sersius yang akan tinggal beberapa waktu di Yamrab.
Gambar. Perjalanan kembali ke Ubrub
Secara keseluruhan bulan
November ini lebih memberikan kesan daripada bulan lalu dan masih banyak
cerita-cerita menarik lainnya yang kiranya tidak bisa saya tuliskan semuanya
disini. Namun bulan ini kehidupan saya agak sedikit lebih “bersuara” daripada
bulan-bulan sebelumnya terutama jika di dalam rumah. Karena rumah sebelah yang
merupakan rumah dari Bapak Didimus bulan ini kembali dihuninya beserta
keluarganya. Bapak Didimus sendiri merupakan guru PNS asli dari Ubrub namun
keluarganya tinggal di kota. Bulan ini mereka pindah kembali ke Ubrub karena
menurut rencana, Pak Didimus akan menjadi kepala sekolah di SD YPPK Ubrub
menggantikan Bapak Vincent yang akan menjadi kepala sekolah di SD YPPK Amgotro
bulan Januari nanti. Bapak Didimus mempunyai seorang istri dan empat orang anak
yang masih kecil-kecil dimana anak yang paling besar baru menginjak kelas 3 SD.
Tiada hari tanpa tangisan selama mereka disini. Pagi, siang, ataupun malam,
selalu saja anak-anak dari Pak Didimus berkelahi dan menangis. Jujur
suara-suara tersebut sangat mengganggu saya karena bulan-bulan lalu kehidupan
kami tenteram tanpa gangguan. Tempat penampungan air hujan sebagai sumber air
minum dan mencuci alat-alat masak pun cepat sekali habis. Itu karena ulah dari
anak-anak Pak Didimus yang sering bermain air. Saya sebagai pendatang pun tidak
bisa berbuat apa-apa. Walaupun sebenarnya ingin rasanya saya memarahi mereka
ketika berulah. Namun itu semua akan coba saya hadapi dan nikmati ke depannya.
Semoga bulan-bulan selanjutnya hingga akhir masa tugas, saya masih tetap
disini, yaitu Ubrub Distrik Web Kabupaten Keerom dan tidak dipindahkan ke
tempat lain karena menurut saya sudah terlambat kiranya jika Dinas Pendidikan
dan Pengajaran Kab Keerom akan memindah tugaskan saya ke tempat lain. Karena
jika ingin demikian seharusnya dari awal penempatan mereka seyogyanya
memperlakukan kami dengan layak dan tidak seenaknya sendiri. Demikian cerita
dari saya di bulan November 2014.