Dua Guru Sobat Bumi Berkelana di Ujung Bumi Cenderawasih
“Raja Ampat merupakan daerah dengan kekayaan bawah laut
terkaya di dunia”
Sebuah
kutipan dari badan Conservation International Indonesia atau biasa disingkat
CII yang menandakan bahwa ada satu daerah di Indonesia yang mempunyai aset
kekayaan alam luar biasa sehingga menarik perhatian semua orang untuk
berkunjung kesana.
Cerita
berikut ini merupakan kelanjutan dari cerita yang mengkisahkan dua orang Guru
Sobat Bumi yang mendapatkan tugas mengajar di ujung timur Indonesia tepatnya di
Distrik Web Kabupaten Keerom Provinsi Papua yang melakukan perjalanan dengan
modal nekat ke ujung barat pulau Papua tepatnya Kabupaten Raja Ampat karena
naluri jiwa mudanya yang haus akan pengalaman dan rasa ingin tahu yang tinggi
tentang kondisi yang sebenarnya dari Papua secara keseluruhan.
Gambar 1. Salah satu tempat tereksotis di Kepulauan Ayau, Raja Ampat
Jika pada
bulan lalu sudah saya ceritakan tentang perjalanan kami (saya dan Anggi)
berangkat dari ujung timur hingga ujung barat pulau Papua hingga sedikit
bercerita kesan pertama menginjakkan kaki di Kabupaten Raja Ampat yang banyak
dibicarakan orang. Maka kali ini saya akan ceritakan kelanjutan ceritanya yang
membuat kami lebih takjub akan betapa kayanya Raja Ampat bukan hanya dari
kekayaan alamnya namun juga kebudayaan serta ciri khas masyarakatnya. Dalam
cerita ini pula akan diceritakan perjalanan pulang kami kembali ke Jayapura
yang penuh dengan lika-liku.
Tepat pukul
00:00 WIT tanggal 1 Januari 2015, lonceng Gereja Kristen Prothestan Reni
dibunyikan sebagai tanda bahwa tahun 2014 telah ditutup dan mulai memasuki
tahun baru 2015. Menurut tradisi kebudayaan Kampung Reni dalam menyambut tahun
baru , Reni mempunyai tradisi unik namun sangat patut ditiru oleh masyarakat
Indonesia pada umumnya. Jadi ketika telah tiba waktu tahun baru yaitu pukul
00:00, lonceng gereja pertama dibunyikan kemudian masyarakat harus berada di
dalam rumah masing-masing untuk berdoa bersama keluarga dengan harapan-harapan
yang kiranya ingin dicapai di tahun yang baru. Tidak lama berselang setelah doa
bersama selesai, lonceng gereja yang kedua pun dibunyikan, hal ini menandakan
bahwa masyarakat Reni dipersilahkan untuk memukul barang-barang di rumah dan
sekitarnya yang bisa menimbulkan suara nyaring seperti memukul panci, wajan,
atap seng, ember, lonceng sekolah, derigen air, atau bahkan kembang api maupun
petasan. Praktis dalam rentang waktu tersebut kampung Reni yang hanya berupa
“gundukan” pulau kecil mendadak sangat gaduh dan langit dipenuhi cahaya kembang
api yang tidak kalah dengan daerah perkotaan pada umumnya. Setelah dirasa
cukup, maka lonceng gereja yang ketiga pun dibunyikan. Untuk lonceng yang
ketiga ini saya kira sangat patut ditiru oleh masyarakat di seluruh Indonesia
pasalnya setelah itu seluruh masyarakat Reni berbondong keluar rumah
berkeliling kampung bersalam-salaman dari satu rumah ke rumah yang lain tanpa
ada yang terlewat seperti halnya tradisi ketika Idul Fitri yang ada di pulau
Jawa. Tuan rumah pun harus menyediakan jamuan kepada para tamu yang datang ke
rumahnya seperti sirih pinang, rokok, kue-kue basah maupun kue kering hingga
minuman teh atau kopi. Para tamu pun dapat membawa pulang hidangan yang disuguhkan
tanpa sungkan-sungkan, tentu hal semacam ini tidak dapat kita temui di pulau
Jawa dimana hal ini terkesan tidak sopan jika dilihat dari sudut pandang
tradisi Jawa.
Video saat pergantian malam tahun baru di Kampung Reni Kepulauan Raja Ampat.
Tidak kalah dengan suasana di perkotaan bukan?.
Gambar 2-4. Suasana saat pergantian Tahun Baru di Kampung Reni setelah menyalakan kembang api yaitu berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain dengan jamuan bermacam-macam tergantung kemampuan si tuan rumah.
Siang
haripun tak kalah meriahnya dengan malam tahun baru. Di kampung Reni ada
beberapa blok rumah yang dibagi berdasarkan nama marga. Nah setiap marga telah
mempersiapkan diri dengan mendirikan semacam tenda yang cukup besar atau
disebut juga sabua serta wajib menyediakan hidangan jamuan. Saat
siang tiba, rombongan satu marga awalnya toki
tambur atau melakukan parade seruling tambur dari tendanya menuju ke sabua milik marga lain. Setelah tiba di sabua marga lain, maka rombongan pemukul
seruling tambur akan disambut tuan rumah dengan berjabat tangan serta jamuan
yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah dirasa cukup dengan jamuan dan sedikit
bercengkrama, maka saatnya berganti giliran Toki
Tambur, yang sebelumnya menjadi tuan rumah sekarang bergantian melakukan
parade seruling tambur menuju tenda marga yang menjadi tamu sebelumnya.
Esok harinya
saya dan rekan RGSB Anggi yang dari awal menemani saya dari Jayapura bertandang
hingga ke Pulau Reni Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat pun harus menyudahi
petualangan di Reni dan singgah kembali ke Kampung Yenkawir yang berajarak 2
jam perjalanan menggunakan kapal nelayan untuk memastikan kedatangan kapal yang
akan ke Sorong agar kami bisa pulang kembali ke Jayapura. Karena akses kapal
dari Kepulauan Ayau ke Kota Sorong sangat sulit, maka kami harus pintar-pintar
mengatur jadwal dan lobi-lobi ke beberapa warga yang juga ingin ke Kota Sorong.
Setelah tiba di Kampung Yenkawir pun kami tidak bisa langsung mendapatkan
kepastian kabar kapal. Alhasil hampir selama seminggu kami “terdampar” di
Yenkawir tanpa kepastian. Namun hal ini membawa hikmah tersendiri. Dengan waktu
seminggu yang kami punya di Yenkawir, kami bisa mengeksplor jengkal demi
jengkal kampung Yenkawir serta bisa mengunjungi pulau indah tak berpenghuni
yaitu pulau Urbabo.
Gambar 5. Perjalanan kembali ke Kampung Yenkawir dari Pulau Reni
Pulau Urbabo hanya berajarak 30
menit perjalanan menggunakan kapal nelayan dari kampung Yenkawir. Disana pula
saya bisa melihat deretan terumbu karang secara live dengan kedua mata saya sendiri di dalam lautan yang kiranya
hanya bisa saya saksikan di layar televisi. Memang selama di Raja Ampat ini
saya baru bisa melihat langsung deretan terumbu karang di bawah laut yang
begitu luar biasa di sekitar perairan Pulau Urbabo. Namun sayangnya pemandangan
terumbu karang tersebut tidak bisa saya dokumentasikan dengan gambar-gambar
karena saya tidak memiliki kamera underwater
yang bisa digunakan di dalam air. Tetapi dengan bisa melihatnya saja saya
sudah merasa sangat senang dan bangga menjadi bangasa Indonesia yang begitu
kaya dan indah alamnya.
Gambar 6. Maaf kami berdiri di atas terumbu karang di sekitar pulau Urbabo karena kami tidak memiliki peralatan snorkling
Gambar 7-9. Suasana kebersamaan di Pulau Urbabo dengan keluarga dari Kepala Kampung Yenkawir.
Gambar 10. Perjalanan kembali ke Kampung Yenkawir dari pulau Urbabo
Setelah puas bermain-main dan makan ikan bakar
hasil dari berburu molo, kami pun
pulang ke Yenkawir. Sesampainya di Yenkawir saya dan rekan-rekan RGSB yang lain
masih harus dijamu oleh Kepala Kampung di rumahnya. Kami pun bercengkrama
dengan kepala kampung beserta keluarganya yang sangat ramah. Sungguh tidak ada
kata-kata yang bisa saya lukiskan tentang kebaikan dari masyarakat Kepulauan
Ayau. Mereka seolah bukan masyarakat Papua pada umumnya yang saya kenal di
pedalaman tempat saya ditugaskan. Masyarakat Ayau sangat agamis walaupun tidak
ada tokoh agama yang tinggal disana seperti halnya pendeta. Mereka juga sangat
menghormati dan menghargai keberadaan guru di tengah-tengah masyarakat. Jujur
saja saya sendiri merasa sangat iri dengan rekan-rekan RGSB yang berasal dari
UNJ dimana mereka ditugaskan di Kepulauan Ayau ini. Betapa beruntungnya mereka
mempunyai pemandangan alam yang sangat cantik serta seperti memiliki masyarakat yang sangat bersahaja.
Gambar 11. Suasana perjamuan dalam acara penutupan rangkaian perayaan Natal dan Tahun Baru di Kampung Yenkawir
Gambar 12-13. Hari-hari terakhir di Kampung Yenkawir saya habiskan dengan menyusuri seisi kampung dan memancing di pantai bersama warga
Akhirnya
hari dimana saya harus meninggalkan Kepulauan Ayau pun datang juga. Tepatnya
keesokan hari setelah berlibur ke pulau Urbabo, saya dan rekan RGSB Anggi
beserta anak-anak muda Kampung Yenkawir yang bersekolah dan kuliah di Sorong
berangkat menuju kampung Kabare yang berjarak 2,5 jam perjalanan menggunakan
kapal speed. Karena memang kapal
perintis yang menuju ke Sorong hanya singgah sampai di Kabare bukan di Ayau.
Deretan masyarakat di pinggir pantai melepas kepulangan kami dari Yenkawir
ketika kapal mulai meninggalkan bibir pantai. Dan saya mulai berkata dalam
hati, “Selamat jalan Ayau, terima kasih untuk waktu 2 minggu yang luar biasa
ini. Kenangan selama disini akan saya wariskan kepada anak-cucu saya kelak. Dan
semoga di kemudian hari kita bisa berjumpa lagi. Amin”.
Gambar 14. Inilah gambar terakhir yang bisa saya ambil di Kepulauan Ayau saat kapal mulai meninggalkan daratan Kampung Yenkawir dengan dilepas oleh beberapa warga serta rekan RGSB Hermawan dan RGSB Bowo.
Perjalanan
ke kampung Kabare begitu menegangkan. Saya pikir perjalanan kesana sama seperti
perjalanan dari Yenkawir ke Pulau Reni. Namun prediksi saya meleset jauh. Jika
perjalanan kapal di sekitar pulau-pulau di Kepulauan Ayau rata-rata hanya
melalui perairan dangkal dan sebentar saja di tengah lautan dalam, beda halnya
perjalanan dari Yenkawir ke Kabare yang harus mengarungi lautan dalam selama
kurang lebih 2,5 jam. Perjalanan di tengah lautan dalam dengan kapal kecil
semacam ini berhasil merontokan nyali saya. Karena selama perjalanan saya hanya
melihat lautan biru dengan gelombang yang sangat tinggi bahkan lebih tinggi
dari posisi kapal. Sepanjang perjalanan pun seperti diguyur hujan deras padahal
saat itu matahari bersinar sangat terik. Alhasil setibanya di Kabare kami semua
basah kuyub namun beruntung kamera yang saya pegang tidak rusak karena telah
dibungkus plastik sebelumnya namun berhasil merusak handphone milik rekan RGSB Anggi karena mengalami konslet.
Kami tiba di
Kampung Kabare sekitar pukul 15:45 WIT dan kapal perintis Ave Maria baru tiba
esok subuh. Otomatis kami harus menginap semalam di Kabare. Jika para pemuda
dari Yenkawir memilih untuk mendirikan tenda di pinggir pantai, namun saya dan
rekan RGSB Anggi beserta ibu dan anak-anak dipersilahkan menginap di salah satu
rumah nenek tua yang hidup sendirian di sekitar pantai. Selidik punya selidik,
ternyata nenek itu keturunan dari Pulau Rutum, Kepulauan Ayau dimana saya
ketahui dari nama marganya yaitu Mayor yang tidak lain merupakan salah satu
marga di Pulau Rutum. Anak-anaknya sudah menikah dan merantau di Waisai dan Sorong.
Jujur saja saya merasa iba melihat seorang nenek tua yang harus hidup sendiri
di bibir pantai tanpa sanak saudara. Seketika itu saya langsung terngiang almh.
ibu saya yang telah meninggalkan saya tahun lalu. Tentu jika ibu saya masih
hidup tak akan saya biarkan tinggal sendirian di rumah seperti itu.
Gambar 15. Salah satu Masjid yang berada di Kabare.
Saat malam
tiba, saya dan rekan RGSB Anggi memutuskan untuk masuk ke dalam kampung Kabare
beserta beberapa anak muda dari Yenkawir. Begitu masuk ke kampung, kami
disambut bangunan Masjid yang kiranya berukuran sangat kecil untuk ukuran
sebuah masjid pada umumnya. Ternyata disini pendatang sudah mulai tinggal
menetap maka dari itu dibangun masjid untuk para pendatang yang beragama Islam.
Saya dan rekan RGSB Anggi pun tak menyiakan-nyiakan kesempatan untuk “numpang”
Sholat di Masjid Kabare. Setelah selesai Sholat, kami melanjutkan kembali
perjalanan masuk ke kampung Kabare. Ternyata saya baru menyadari bahwa di
setiap rumah terdapat meteran listrik dari PLN. Maka dari itu banyak diantara
kios-kios yang tertempel tulisan “Jual Pulsa Listrik”. Namun listrik menyala
pada malam hari saja dimana menggunakan sumber daya mesin diesel yang berada
dekat pantai. Setelah berjalan kurang lebih selama 10 menit, kami singgah di
sebuah rumah milik mseorang mantri yang masih terikat hubungan keluarga dengan
kepala kampung Yenkawir. Disana kami menonton televisi sejenak melihat berita
terbaru dari tanah jawa karena selama di Ayau nyaris saya tidak pernah menonton
televisi. Tidak lama berselang saya mendengar suara parade seruling tambur yang
lewat di samping rumah dan seolah tidak ingin kehilangan momen tersebut, saya
langsung beranjak keluar rumah. Di depan rumah pun telah ada beberapa warga
yang sedang menyaksikan parade seruling tambur tersebut. Dan dari informasi
warga pula saya mengetahui bahwa kampung Kabare sedang merayakan acara
penutupan rangkaian perayaan Natal dan Tahun Baru dimana kampung Yenkawir telah
mendahului di tanggal 5 Januari lalu. Dan saya mendengar kabar pula bahwa acara
penutupan rangkaian perayaan Natal dan Tahun baru ini terdapat sesi makan
bersama dan telah menjadi tradisi di Raja Ampat jika ada acara besar maka akan
ada hidangan khusus yaitu masakan daging tete
ruga atau dengan nama umum yaitu
Penyu. Ya inilah salah satu kelemahan dari masyarakat Raja Ampat yang masih
memburu Penyu untuk acara-acara adat. Penyu yang diburu juga biasanya berupa
Penyu Hijau yang tentu sudah terancam punah. Saya pun tidak tahu apakah
pemerintah seakan menutup mata akan kebiasaan masyarakat ini atau mereka
benar-benar tidak tahu. Hanya mereka dan Tuhan-lah yang tahu.
Rasa kantuk
tidak bisa dihindari lagi, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke rumah
nenek yang berada di tepi pantai yang kami gunakan untuk tempat singgah
sementara hingga esok pagi. Pagi-pagi benar kami sudah dibangunkan karena
ternyata kapal sudah menjatuhkan jangkarnya di perairan Kabare. Dan tanpa
basa-basi pun kami langsung naik perahu kecil yang kemarin kami tumpangi untuk
menuju ke kapal perintis Ave Maria yang berada di tengah laut. Kapal Ave Maria
sebenarnya masih lama bersandar di Kabare, namun karena takut tidak kebagian
tempat tidur maka tidak lama kapal tiba kami harus langsung naik untuk membooking beberapa tempat tidur
untuk beberapa orang yang bersama kami
beserta barang-barangnya. Setelah menunggu hingga pukul 10:30 WIT, akhirnya
kapal menarik jangkarnya dan berlayar ke Kota Sorong. Perjalanan kali ini akan
ditempuh selama 6 jam. Tentu sangat cepat jika dibandingkan dengan kapal yang
saya naiki saat berangkat ke Ayau yang memakan waktu hingga 30 jam. Selain
harga tiket yang lebih mahal yaitu Rp. 200.000 dibandingkan kapal Bintang 23
yang hanya Rp. 70.000, jenis kapal yang kami naiki ini juga jauh lebih bagus
dengan failitas yang lebih lengkap pula.
Gambar 16. Suasana di dalam dek Kapal Ave Maria
Setelah
mengarungi lautan kurang lebih selama 6 jam, akhirnya kapal bersandar di
Pelabuhan Rakyat Sorong. Dan sesuai dengan rencana, saya dan rekan RGSB Anggi
akan dijemput oleh suami dari Ibu Oka yaitu Kepala Sekolah SD YPK Meosbekwan
yang merupakan tempat tugas dari rekan RGSB Hary Prabowo. Setelah menunggu
cukup lama di dalam kapal menunggu orang-orang keluar terlebih dahulu, akhirnya
kami dijemput dan diantarkan ke rumah Ibu Oka yang berjarak lumayan jauh dari
pelabuhan. Setelah beristirahat sejenak dan membersihkan diri, saya dan Anggi
bermusyawarah tentang rencana pulang kembali ke Jayapura. Karena transportasi
kapal laut akan hanya ada esok hari jam 9 pagi dan untuk jadwal selanjutnya
belum diketahui kepastiannya. Sedangkan jika menggunakan pesawat tinggal
menyesuaikan jadwal dan sisa tiket saja namun kelemahannya adalah harga tiket
pesawat yang bisa 4 kali lipat dari harga tiket kapal laut. Akhirnya kami
memutuskan untuk menggunakan mode transportasi udara karena mengingat kondisi
fisik kami yang belum terlalu fit untuk langsung melanjutkan perjalanan dan
juga kami belum sempat bertemu dengan Pastor Willi yang merupakan pelindung
kami ketika baru tiba di tempat tugas Ubrub, Distrik Web yang sekarang telah
pindah tugas di Kota Sorong. Akhirnya malam itu juga saya dan Bapak Oka
berkeliling Kota Sorong untuk mencari info tiket pesawat yang sekiranya pas
dengan jadwal serta tidak terlalu berat di dompet. Setelah mengetahui jadwal
dan harga tiket pesawat, esok paginya saya, rekan RGSB Anggi, beserta Bapak Oka
pergi ke agen tiket untuk membeli dua tiket untuk saya dan Anggi. Kami
memutuskan untuk menggunakan maskapai penerbangan Xpress Air dengan jadwal
penerbangan pada hari Minggu tanggal 11 Januari 2015 dan take off pada pukul 07:20 WIT. Setelah beres dengan tiket pulang,
kami pulang ke rumah dan makan siang. Setelah santap siang, kami diajak Pak Oka
untuk berkeliling Kota Sorong dan daerah di sekitarnya. Tanpa basa-basi pun
kami langsung tancap gas berkeliling Sorong dengan menggunakan motor. Jalanan
di Kota Sorong terlihat lebih mudah dihapalkan karena jalannya rata dan
menggunakan istilah kelipatan Km bukan dengan nama daerahnya. Dan kami juga
sempat mengunjungi daerah transmigrasi di Distrik Aimas Kabupaten Sorong.
Terlihat disana banyak sekali pendatang dan saya merasa pulang ke Jawa karena
suasana dan tata letak rumah dan ladangnya mirip dengan daerah dari desa nenek saya.
Dan setelah dirasa cukup, akhirnya kami kembali pulang ke rumah Ibu Oka di daerah Malanu, Kota Sorong karena malamnya
saya dan rekan RGSB Anggi telah membuat janji dengan Pater Willi untuk bertemu.
Dan singkat cerita, pada pukul 22:00 WIT saya dan rekan RGSB Anggi dijemput
Pater Willi dengan menggunakan mobil untuk menuju ke Biara tempat tinggal
sekaligus tempat tugas Pater Willi selama di Sorong. Kami pun langsung terlibat
percakapan nan menarik terutama tentang kondisi Ubrub saat ini semenjak
kepergian Pater Willi. Dan tepat tengah malam akhirnya kami harus berpisah
karena besok pagi saya dan rekan RGSB Anggi harus sudah tiba di bandara untuk
melanjutkan perjalanan pulang ke Jayapura.
Gambar 17. Gambar yang saya ambil ketika berkeliling ke Kabupaten Sorong
Gambar 18. Keluarga dari Ibu Oka berfoto bersama saya (bertopi) sesaat sebelum berangkat ke Bandara
Pagi hari
pukul 05:00 tanggal 11 Januari 2015, saya telah bangun dari tidur singkat
semalam untuk bersiap diri untuk melakukan perjalanan jauh kembali ke Jayapura
setelah 3 minggu berkelana di Sorong dan Raja Ampat. Pukul 06:30 WIT, saya dan
rekan RGSB Anggi telah tiba di Bandara Domine Eduard Osok, Kota Sorong dengan
diantar oleh Pak Oka dan Saudara dari Ibu Oka. Sungguh saya tidak akan
melupakan kebaikan dari keluarga Ibu Oka yang telah mau merawat kami sepulang
dari Raja Ampat. Tidak lama langsung saya melakukan check-in dan menunggu boarding
yang terjadwal pada pukul 07:20 WIT dengan nomor penerbangan XN-812. Pesawat
yang saya tumpangi ini tidak langsung terbang menuju Jayapura melainkan harus
transit terlebih dahulu di Manokwari hingga sore hari dan melanjutkan kembali
perjalanan ke Jayapura. Menurut jadwal, pesawat ini akan tiba di Bandara
Rendani Manokwari pada pukul 08:30 WIT.
Perjalanan naik pesawat pertama kalinya
dengan uang hasil keringat sendiri pun terasa sangat spesial bagi saya.
Walaupun harga tiket yang harus saya bayar bukan termasuk harga yang murah,
namun hal ini cukup membuat saya merasa bangga bahwa dengan uang sendiri saya
bisa naik pesawat yang mungkin dahulu hanya angan-angan saja. Penerbangan ke
Manokwari pun terasa singkat dan tidak terasa pesawat sudah landing di Bandara Rendani. Saya dan
rekan RGSB Anggi langsung masuk ke ruang tunggu penumpang transit guna menunggu
penerbangan selanjutnya ke Jayapura pada pukul 15:10 WIT. Iya memang kami harus
menunggu selama 6 jam di bandara. Tentu menunggu bukan hal yang saya suka dan
jeda selama 6 jam akan terasa sangat lama. Namun sekitar jam 2 siang, mendadak
langit menjadi gelap dan hujan besar pun langsung mengguyur Bandara Rendani dan
wilayah di sekitarnya. Hujan kali ini turun dengan sangat deras dan berlangsung
lama hingga jam setengah 4 sore hujan baru reda.
Gambar 19. Tiket pesawat yang saya beli di salah satu agen di Kota Sorong
Gamabr 20. Sesaat setelah saya dan rekan RGSB Anggo mendarat di Bandara Rendani Manokwari
Awalnya
penerbangan ditunda 1 jam menjadi pukul 16:00 WIT yang seharusnya pukul 15:10 WIT. Alhasil akan semakin lama kami
menunggu kedatangan pesawat. Pukul 16:00 WIT pun telah lewat, namun belum ada
kepastian dari pihak maskapai penerbangan. Saya pun mulai cemas dengan nasib
kami disini, di Manokwari. Karena disini kami tidak mempunyai kenalan siapa pun
jika nantinya pesawat akan di-cancel.
Tak lama berselang penerbangan ditunda kembali satu jam sehingga rencana
pesawat akan berangkat pukul 17:00 WIT. Namun cuaca di sekitar Bandara Rendani
Manokwari kiranya tidak mendukung untuk penerbangan lebih lanjut. Dan pada
akhirnya pesawat dengan nomor penerbangan XN-800 yang akan kami tumpangi
dibatalkan pemberangkatannya dan pesawat akan berangkat kembali esok pagi. Dan
seluruh penumpang diharapkan menuju loket check-in
guna mengambil barang bagasi. Dan saat saya mulai mendekat ke loket dan menunjukkan
tiket, petugas loket tersebut mengatakan bahwa penumpang transit akan diinapkan
satu malam di penginapan. Ah, lega sekali rasanya mendengar penjelasan dari
petugas tersebut. Saya yang sebelumnya bingung sekarang mendadak menjadi senang
sekali karena bisa bermalam di Manokwari dengan difasilitasi pihak maskapai
penerbangan. Ditambah lagi bahwa esok harinya tanggal 12 Januari merupakan hari
ulang tahun saya yang ke-22 dan secara kebetulan juga berbarengan dengan Hari
Jadi Pertamina Foundation yang ke-4. Tidak terbayang sebelumnya saya bisa
merayakan ulang tahun di kota yang baru saja saya kunjungi.
Mobil model
minibus yang bertuliskan Xpress Air segera bergegas meninggalkan Bandara
Rendani untuk mengantarkan 5 orang penumpang transit termasuk saya dan Anggi
yang akan ke Jayapura menuju Hotel Fujita dimana kami akan bermalam. Penumpang
pun dibagi menjadi 3 kamar dimana per kamar akan diisi 2 orang. Dan tentu saja
saya dan Anggi memilih untuk satu kamar. Setelah didata di resepsionis, kunci
pintu kamar hotel telah saya ambil alih. Dan begitu membuka kamar hotel, saya
senang bukan main karena kamar tempat kami akan bermalam termasuk kategori yang
cukup bagus dengan fasilitas lengkap seperti pendingin udara, televisi layar
datar, serta kamar mandi yang dilengkapi air panas. Sungguh tidak bisa saya
bayangkan akan begitu menyenangkan perjalanan pulang ke Jayapura ini yang tentu
berbanding terbalik dengan cerita saat kami berangkat ke Sorong hingga Raja
Ampat.
Gambar 21. Kamar hotel yang kami dapatkan selama menginap satu malam di Manokwari
Pukul 06:00 WIT mobil
jemputan sudah terparkir di depan Hotel Fujita dan tidak lama berselang segera
mengantarkan kami kembali ke Bandara Rendani Manokwari. Penerbangan yang
seharusnya pukul 08:00 WIT harus diundur menjadi pukul 10:00 WIT karena tidak
mendapat ijin dari pihak Dinas Perhubungan Udara. Sehingga kami harus sedikit
bersabar menanti pesawat. Namun karena fasilitas di ruang tunggu Bandara
Rendani cukup lengkap maka selang waktu tersebut tidak terlalu terasa. Pukul
09:50 WIT kami sudah berada di dalam pesawat untuk siap lepas landas terbang
menuju Bandara Sentani Jayapura. Dan sesuai aturan penerbangan sebelum pesawat
lepas landas, petugas Pramugari/a harus memperagakan aturan di dalam peswat
beserta barang-barang keselamatan penumpang jika terjadi situasi emergency. Saat itu rasa iseng saya muncul, saat Pramugari yang
berada di depan saya sedang memperagakan aturan penerbangan yang selayaknya
dilakukan oleh seorang pramugari sebelum take
off, saya secara terang-terangan merekam pramugari tersebut dengan kamera
dan sontak pramugari tersebut tidak sampai tuntas memperagakan sudah bergerak
ke arah saya lalu menyuruh saya untuk mematikan kamera. Ia juga sempat berkata
untuk menghapus video yang baru saja saya rekam tadi.
Dan akhirnya setelah
terbang melintasi langit Papua selama 1,5 jam, pesawat dengan nomor penerbangan
XN-800 yang kami tumpangi mendarat dengan selamat di Bandara Sentani Jayapura.
Demikian cerita pengalaman saya dan rekan RGSB Anggi melanglangbuana dari Jayapura hingga ke Kepulauan terluar dan terindah di Indonesia yaitu Kepulauan Ayau Raja Ampat. Semoga pengalaman ini mampu menginspirasi para netizen yang membaca cerita ini. Dan saya pribadi mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru bagi sahabat-sahabat baru saya yang berada di timur Indonesia. Saya tetap berdoa agar kita bisa berjumpa kembali suatu hari nanti.
Sesaat setelah Pesawat landing di Bandara Sentani Jayapura
Demikian cerita pengalaman saya dan rekan RGSB Anggi melanglangbuana dari Jayapura hingga ke Kepulauan terluar dan terindah di Indonesia yaitu Kepulauan Ayau Raja Ampat. Semoga pengalaman ini mampu menginspirasi para netizen yang membaca cerita ini. Dan saya pribadi mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru bagi sahabat-sahabat baru saya yang berada di timur Indonesia. Saya tetap berdoa agar kita bisa berjumpa kembali suatu hari nanti.