Sabtu, 26 Desember 2015

The Most Wanted Place on Indonesia - Part 2

Dua Guru Sobat Bumi Berkelana di Ujung Bumi Cenderawasih

“Raja Ampat merupakan daerah dengan kekayaan bawah laut terkaya di dunia”

            Sebuah kutipan dari badan Conservation International Indonesia atau biasa disingkat CII yang menandakan bahwa ada satu daerah di Indonesia yang mempunyai aset kekayaan alam luar biasa sehingga menarik perhatian semua orang untuk berkunjung kesana.
            Cerita berikut ini merupakan kelanjutan dari cerita yang mengkisahkan dua orang Guru Sobat Bumi yang mendapatkan tugas mengajar di ujung timur Indonesia tepatnya di Distrik Web Kabupaten Keerom Provinsi Papua yang melakukan perjalanan dengan modal nekat ke ujung barat pulau Papua tepatnya Kabupaten Raja Ampat karena naluri jiwa mudanya yang haus akan pengalaman dan rasa ingin tahu yang tinggi tentang kondisi yang sebenarnya dari Papua secara keseluruhan.
Gambar 1. Salah satu tempat tereksotis di Kepulauan Ayau, Raja Ampat

            Jika pada bulan lalu sudah saya ceritakan tentang perjalanan kami (saya dan Anggi) berangkat dari ujung timur hingga ujung barat pulau Papua hingga sedikit bercerita kesan pertama menginjakkan kaki di Kabupaten Raja Ampat yang banyak dibicarakan orang. Maka kali ini saya akan ceritakan kelanjutan ceritanya yang membuat kami lebih takjub akan betapa kayanya Raja Ampat bukan hanya dari kekayaan alamnya namun juga kebudayaan serta ciri khas masyarakatnya. Dalam cerita ini pula akan diceritakan perjalanan pulang kami kembali ke Jayapura yang penuh dengan lika-liku.
            Tepat pukul 00:00 WIT tanggal 1 Januari 2015, lonceng Gereja Kristen Prothestan Reni dibunyikan sebagai tanda bahwa tahun 2014 telah ditutup dan mulai memasuki tahun baru 2015. Menurut tradisi kebudayaan Kampung Reni dalam menyambut tahun baru , Reni mempunyai tradisi unik namun sangat patut ditiru oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Jadi ketika telah tiba waktu tahun baru yaitu pukul 00:00, lonceng gereja pertama dibunyikan kemudian masyarakat harus berada di dalam rumah masing-masing untuk berdoa bersama keluarga dengan harapan-harapan yang kiranya ingin dicapai di tahun yang baru. Tidak lama berselang setelah doa bersama selesai, lonceng gereja yang kedua pun dibunyikan, hal ini menandakan bahwa masyarakat Reni dipersilahkan untuk memukul barang-barang di rumah dan sekitarnya yang bisa menimbulkan suara nyaring seperti memukul panci, wajan, atap seng, ember, lonceng sekolah, derigen air, atau bahkan kembang api maupun petasan. Praktis dalam rentang waktu tersebut kampung Reni yang hanya berupa “gundukan” pulau kecil mendadak sangat gaduh dan langit dipenuhi cahaya kembang api yang tidak kalah dengan daerah perkotaan pada umumnya. Setelah dirasa cukup, maka lonceng gereja yang ketiga pun dibunyikan. Untuk lonceng yang ketiga ini saya kira sangat patut ditiru oleh masyarakat di seluruh Indonesia pasalnya setelah itu seluruh masyarakat Reni berbondong keluar rumah berkeliling kampung bersalam-salaman dari satu rumah ke rumah yang lain tanpa ada yang terlewat seperti halnya tradisi ketika Idul Fitri yang ada di pulau Jawa. Tuan rumah pun harus menyediakan jamuan kepada para tamu yang datang ke rumahnya seperti sirih pinang, rokok, kue-kue basah maupun kue kering hingga minuman teh atau kopi. Para tamu pun dapat membawa pulang hidangan yang disuguhkan tanpa sungkan-sungkan, tentu hal semacam ini tidak dapat kita temui di pulau Jawa dimana hal ini terkesan tidak sopan jika dilihat dari sudut pandang tradisi Jawa.
Video saat pergantian malam tahun baru di Kampung Reni Kepulauan Raja Ampat.
Tidak kalah dengan suasana di perkotaan bukan?.


Gambar 2-4. Suasana saat pergantian Tahun Baru di Kampung Reni setelah menyalakan kembang api yaitu berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain dengan jamuan bermacam-macam tergantung kemampuan si tuan rumah.

            Siang haripun tak kalah meriahnya dengan malam tahun baru. Di kampung Reni ada beberapa blok rumah yang dibagi berdasarkan nama marga. Nah setiap marga telah mempersiapkan diri dengan mendirikan semacam tenda yang cukup besar atau disebut juga sabua  serta wajib menyediakan hidangan jamuan. Saat siang tiba, rombongan satu marga awalnya toki tambur atau melakukan parade seruling tambur dari tendanya menuju ke sabua milik marga lain. Setelah tiba di sabua marga lain, maka rombongan pemukul seruling tambur akan disambut tuan rumah dengan berjabat tangan serta jamuan yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah dirasa cukup dengan jamuan dan sedikit bercengkrama, maka saatnya berganti giliran Toki Tambur, yang sebelumnya menjadi tuan rumah sekarang bergantian melakukan parade seruling tambur menuju tenda marga yang menjadi tamu sebelumnya.
            Esok harinya saya dan rekan RGSB Anggi yang dari awal menemani saya dari Jayapura bertandang hingga ke Pulau Reni Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat pun harus menyudahi petualangan di Reni dan singgah kembali ke Kampung Yenkawir yang berajarak 2 jam perjalanan menggunakan kapal nelayan untuk memastikan kedatangan kapal yang akan ke Sorong agar kami bisa pulang kembali ke Jayapura. Karena akses kapal dari Kepulauan Ayau ke Kota Sorong sangat sulit, maka kami harus pintar-pintar mengatur jadwal dan lobi-lobi ke beberapa warga yang juga ingin ke Kota Sorong. Setelah tiba di Kampung Yenkawir pun kami tidak bisa langsung mendapatkan kepastian kabar kapal. Alhasil hampir selama seminggu kami “terdampar” di Yenkawir tanpa kepastian. Namun hal ini membawa hikmah tersendiri. Dengan waktu seminggu yang kami punya di Yenkawir, kami bisa mengeksplor jengkal demi jengkal kampung Yenkawir serta bisa mengunjungi pulau indah tak berpenghuni yaitu pulau Urbabo.
Gambar 5. Perjalanan kembali ke Kampung Yenkawir dari Pulau Reni

            Pulau Urbabo hanya berajarak 30 menit perjalanan menggunakan kapal nelayan dari kampung Yenkawir. Disana pula saya bisa melihat deretan terumbu karang secara live dengan kedua mata saya sendiri di dalam lautan yang kiranya hanya bisa saya saksikan di layar televisi. Memang selama di Raja Ampat ini saya baru bisa melihat langsung deretan terumbu karang di bawah laut yang begitu luar biasa di sekitar perairan Pulau Urbabo. Namun sayangnya pemandangan terumbu karang tersebut tidak bisa saya dokumentasikan dengan gambar-gambar karena saya tidak memiliki kamera underwater yang bisa digunakan di dalam air. Tetapi dengan bisa melihatnya saja saya sudah merasa sangat senang dan bangga menjadi bangasa Indonesia yang begitu kaya dan indah alamnya.


 Gambar 6. Maaf kami berdiri di atas terumbu karang di sekitar pulau Urbabo karena kami tidak memiliki peralatan snorkling

Gambar 7-9. Suasana kebersamaan di Pulau Urbabo dengan keluarga dari Kepala Kampung Yenkawir.

Gambar 10. Perjalanan kembali ke Kampung Yenkawir dari pulau Urbabo

             Setelah puas bermain-main dan makan ikan bakar hasil dari berburu molo, kami pun pulang ke Yenkawir. Sesampainya di Yenkawir saya dan rekan-rekan RGSB yang lain masih harus dijamu oleh Kepala Kampung di rumahnya. Kami pun bercengkrama dengan kepala kampung beserta keluarganya yang sangat ramah. Sungguh tidak ada kata-kata yang bisa saya lukiskan tentang kebaikan dari masyarakat Kepulauan Ayau. Mereka seolah bukan masyarakat Papua pada umumnya yang saya kenal di pedalaman tempat saya ditugaskan. Masyarakat Ayau sangat agamis walaupun tidak ada tokoh agama yang tinggal disana seperti halnya pendeta. Mereka juga sangat menghormati dan menghargai keberadaan guru di tengah-tengah masyarakat. Jujur saja saya sendiri merasa sangat iri dengan rekan-rekan RGSB yang berasal dari UNJ dimana mereka ditugaskan di Kepulauan Ayau ini. Betapa beruntungnya mereka mempunyai pemandangan alam yang sangat cantik serta seperti memiliki masyarakat yang sangat bersahaja.

Gambar 11. Suasana perjamuan dalam acara penutupan rangkaian perayaan Natal dan Tahun Baru di Kampung Yenkawir

Gambar 12-13. Hari-hari terakhir di Kampung Yenkawir saya habiskan dengan menyusuri seisi kampung dan memancing di pantai bersama warga

            Akhirnya hari dimana saya harus meninggalkan Kepulauan Ayau pun datang juga. Tepatnya keesokan hari setelah berlibur ke pulau Urbabo, saya dan rekan RGSB Anggi beserta anak-anak muda Kampung Yenkawir yang bersekolah dan kuliah di Sorong berangkat menuju kampung Kabare yang berjarak 2,5 jam perjalanan menggunakan kapal speed. Karena memang kapal perintis yang menuju ke Sorong hanya singgah sampai di Kabare bukan di Ayau. Deretan masyarakat di pinggir pantai melepas kepulangan kami dari Yenkawir ketika kapal mulai meninggalkan bibir pantai. Dan saya mulai berkata dalam hati, “Selamat jalan Ayau, terima kasih untuk waktu 2 minggu yang luar biasa ini. Kenangan selama disini akan saya wariskan kepada anak-cucu saya kelak. Dan semoga di kemudian hari kita bisa berjumpa lagi. Amin”.
Gambar 14. Inilah gambar terakhir yang bisa saya ambil di Kepulauan Ayau saat kapal mulai meninggalkan daratan Kampung Yenkawir dengan dilepas oleh beberapa warga serta rekan RGSB Hermawan dan RGSB Bowo.

            Perjalanan ke kampung Kabare begitu menegangkan. Saya pikir perjalanan kesana sama seperti perjalanan dari Yenkawir ke Pulau Reni. Namun prediksi saya meleset jauh. Jika perjalanan kapal di sekitar pulau-pulau di Kepulauan Ayau rata-rata hanya melalui perairan dangkal dan sebentar saja di tengah lautan dalam, beda halnya perjalanan dari Yenkawir ke Kabare yang harus mengarungi lautan dalam selama kurang lebih 2,5 jam. Perjalanan di tengah lautan dalam dengan kapal kecil semacam ini berhasil merontokan nyali saya. Karena selama perjalanan saya hanya melihat lautan biru dengan gelombang yang sangat tinggi bahkan lebih tinggi dari posisi kapal. Sepanjang perjalanan pun seperti diguyur hujan deras padahal saat itu matahari bersinar sangat terik. Alhasil setibanya di Kabare kami semua basah kuyub namun beruntung kamera yang saya pegang tidak rusak karena telah dibungkus plastik sebelumnya namun berhasil merusak handphone milik rekan RGSB Anggi karena mengalami konslet.
            Kami tiba di Kampung Kabare sekitar pukul 15:45 WIT dan kapal perintis Ave Maria baru tiba esok subuh. Otomatis kami harus menginap semalam di Kabare. Jika para pemuda dari Yenkawir memilih untuk mendirikan tenda di pinggir pantai, namun saya dan rekan RGSB Anggi beserta ibu dan anak-anak dipersilahkan menginap di salah satu rumah nenek tua yang hidup sendirian di sekitar pantai. Selidik punya selidik, ternyata nenek itu keturunan dari Pulau Rutum, Kepulauan Ayau dimana saya ketahui dari nama marganya yaitu Mayor yang tidak lain merupakan salah satu marga di Pulau Rutum. Anak-anaknya sudah menikah dan merantau di Waisai dan Sorong. Jujur saja saya merasa iba melihat seorang nenek tua yang harus hidup sendiri di bibir pantai tanpa sanak saudara. Seketika itu saya langsung terngiang almh. ibu saya yang telah meninggalkan saya tahun lalu. Tentu jika ibu saya masih hidup tak akan saya biarkan tinggal sendirian di rumah seperti itu.
Gambar 15. Salah satu Masjid yang berada di Kabare.

            Saat malam tiba, saya dan rekan RGSB Anggi memutuskan untuk masuk ke dalam kampung Kabare beserta beberapa anak muda dari Yenkawir. Begitu masuk ke kampung, kami disambut bangunan Masjid yang kiranya berukuran sangat kecil untuk ukuran sebuah masjid pada umumnya. Ternyata disini pendatang sudah mulai tinggal menetap maka dari itu dibangun masjid untuk para pendatang yang beragama Islam. Saya dan rekan RGSB Anggi pun tak menyiakan-nyiakan kesempatan untuk “numpang” Sholat di Masjid Kabare. Setelah selesai Sholat, kami melanjutkan kembali perjalanan masuk ke kampung Kabare. Ternyata saya baru menyadari bahwa di setiap rumah terdapat meteran listrik dari PLN. Maka dari itu banyak diantara kios-kios yang tertempel tulisan “Jual Pulsa Listrik”. Namun listrik menyala pada malam hari saja dimana menggunakan sumber daya mesin diesel yang berada dekat pantai. Setelah berjalan kurang lebih selama 10 menit, kami singgah di sebuah rumah milik mseorang mantri yang masih terikat hubungan keluarga dengan kepala kampung Yenkawir. Disana kami menonton televisi sejenak melihat berita terbaru dari tanah jawa karena selama di Ayau nyaris saya tidak pernah menonton televisi. Tidak lama berselang saya mendengar suara parade seruling tambur yang lewat di samping rumah dan seolah tidak ingin kehilangan momen tersebut, saya langsung beranjak keluar rumah. Di depan rumah pun telah ada beberapa warga yang sedang menyaksikan parade seruling tambur tersebut. Dan dari informasi warga pula saya mengetahui bahwa kampung Kabare sedang merayakan acara penutupan rangkaian perayaan Natal dan Tahun Baru dimana kampung Yenkawir telah mendahului di tanggal 5 Januari lalu. Dan saya mendengar kabar pula bahwa acara penutupan rangkaian perayaan Natal dan Tahun baru ini terdapat sesi makan bersama dan telah menjadi tradisi di Raja Ampat jika ada acara besar maka akan ada hidangan khusus yaitu masakan daging tete ruga  atau dengan nama umum yaitu Penyu. Ya inilah salah satu kelemahan dari masyarakat Raja Ampat yang masih memburu Penyu untuk acara-acara adat. Penyu yang diburu juga biasanya berupa Penyu Hijau yang tentu sudah terancam punah. Saya pun tidak tahu apakah pemerintah seakan menutup mata akan kebiasaan masyarakat ini atau mereka benar-benar tidak tahu. Hanya mereka dan Tuhan-lah yang tahu.
            Rasa kantuk tidak bisa dihindari lagi, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke rumah nenek yang berada di tepi pantai yang kami gunakan untuk tempat singgah sementara hingga esok pagi. Pagi-pagi benar kami sudah dibangunkan karena ternyata kapal sudah menjatuhkan jangkarnya di perairan Kabare. Dan tanpa basa-basi pun kami langsung naik perahu kecil yang kemarin kami tumpangi untuk menuju ke kapal perintis Ave Maria yang berada di tengah laut. Kapal Ave Maria sebenarnya masih lama bersandar di Kabare, namun karena takut tidak kebagian tempat tidur maka tidak lama kapal tiba kami harus langsung naik untuk membooking beberapa tempat tidur untuk  beberapa orang yang bersama kami beserta barang-barangnya. Setelah menunggu hingga pukul 10:30 WIT, akhirnya kapal menarik jangkarnya dan berlayar ke Kota Sorong. Perjalanan kali ini akan ditempuh selama 6 jam. Tentu sangat cepat jika dibandingkan dengan kapal yang saya naiki saat berangkat ke Ayau yang memakan waktu hingga 30 jam. Selain harga tiket yang lebih mahal yaitu Rp. 200.000 dibandingkan kapal Bintang 23 yang hanya Rp. 70.000, jenis kapal yang kami naiki ini juga jauh lebih bagus dengan failitas yang lebih lengkap pula.
Gambar 16. Suasana di dalam dek Kapal Ave Maria

            Setelah mengarungi lautan kurang lebih selama 6 jam, akhirnya kapal bersandar di Pelabuhan Rakyat Sorong. Dan sesuai dengan rencana, saya dan rekan RGSB Anggi akan dijemput oleh suami dari Ibu Oka yaitu Kepala Sekolah SD YPK Meosbekwan yang merupakan tempat tugas dari rekan RGSB Hary Prabowo. Setelah menunggu cukup lama di dalam kapal menunggu orang-orang keluar terlebih dahulu, akhirnya kami dijemput dan diantarkan ke rumah Ibu Oka yang berjarak lumayan jauh dari pelabuhan. Setelah beristirahat sejenak dan membersihkan diri, saya dan Anggi bermusyawarah tentang rencana pulang kembali ke Jayapura. Karena transportasi kapal laut akan hanya ada esok hari jam 9 pagi dan untuk jadwal selanjutnya belum diketahui kepastiannya. Sedangkan jika menggunakan pesawat tinggal menyesuaikan jadwal dan sisa tiket saja namun kelemahannya adalah harga tiket pesawat yang bisa 4 kali lipat dari harga tiket kapal laut. Akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan mode transportasi udara karena mengingat kondisi fisik kami yang belum terlalu fit untuk langsung melanjutkan perjalanan dan juga kami belum sempat bertemu dengan Pastor Willi yang merupakan pelindung kami ketika baru tiba di tempat tugas Ubrub, Distrik Web yang sekarang telah pindah tugas di Kota Sorong. Akhirnya malam itu juga saya dan Bapak Oka berkeliling Kota Sorong untuk mencari info tiket pesawat yang sekiranya pas dengan jadwal serta tidak terlalu berat di dompet. Setelah mengetahui jadwal dan harga tiket pesawat, esok paginya saya, rekan RGSB Anggi, beserta Bapak Oka pergi ke agen tiket untuk membeli dua tiket untuk saya dan Anggi. Kami memutuskan untuk menggunakan maskapai penerbangan Xpress Air dengan jadwal penerbangan pada hari Minggu tanggal 11 Januari 2015 dan take off pada pukul 07:20 WIT. Setelah beres dengan tiket pulang, kami pulang ke rumah dan makan siang. Setelah santap siang, kami diajak Pak Oka untuk berkeliling Kota Sorong dan daerah di sekitarnya. Tanpa basa-basi pun kami langsung tancap gas berkeliling Sorong dengan menggunakan motor. Jalanan di Kota Sorong terlihat lebih mudah dihapalkan karena jalannya rata dan menggunakan istilah kelipatan Km bukan dengan nama daerahnya. Dan kami juga sempat mengunjungi daerah transmigrasi di Distrik Aimas Kabupaten Sorong. Terlihat disana banyak sekali pendatang dan saya merasa pulang ke Jawa karena suasana dan tata letak rumah dan ladangnya mirip dengan daerah dari desa nenek saya. Dan setelah dirasa cukup, akhirnya kami kembali pulang ke rumah Ibu Oka di  daerah Malanu, Kota Sorong karena malamnya saya dan rekan RGSB Anggi telah membuat janji dengan Pater Willi untuk bertemu. Dan singkat cerita, pada pukul 22:00 WIT saya dan rekan RGSB Anggi dijemput Pater Willi dengan menggunakan mobil untuk menuju ke Biara tempat tinggal sekaligus tempat tugas Pater Willi selama di Sorong. Kami pun langsung terlibat percakapan nan menarik terutama tentang kondisi Ubrub saat ini semenjak kepergian Pater Willi. Dan tepat tengah malam akhirnya kami harus berpisah karena besok pagi saya dan rekan RGSB Anggi harus sudah tiba di bandara untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Jayapura.

Gambar 17. Gambar yang saya ambil ketika berkeliling ke Kabupaten Sorong

Gambar 18. Keluarga dari Ibu Oka berfoto bersama saya (bertopi) sesaat sebelum berangkat ke Bandara

            Pagi hari pukul 05:00 tanggal 11 Januari 2015, saya telah bangun dari tidur singkat semalam untuk bersiap diri untuk melakukan perjalanan jauh kembali ke Jayapura setelah 3 minggu berkelana di Sorong dan Raja Ampat. Pukul 06:30 WIT, saya dan rekan RGSB Anggi telah tiba di Bandara Domine Eduard Osok, Kota Sorong dengan diantar oleh Pak Oka dan Saudara dari Ibu Oka. Sungguh saya tidak akan melupakan kebaikan dari keluarga Ibu Oka yang telah mau merawat kami sepulang dari Raja Ampat. Tidak lama langsung saya melakukan check-in dan menunggu boarding yang terjadwal pada pukul 07:20 WIT dengan nomor penerbangan XN-812. Pesawat yang saya tumpangi ini tidak langsung terbang menuju Jayapura melainkan harus transit terlebih dahulu di Manokwari hingga sore hari dan melanjutkan kembali perjalanan ke Jayapura. Menurut jadwal, pesawat ini akan tiba di Bandara Rendani Manokwari pada pukul 08:30 WIT.
Gambar 19. Tiket pesawat yang saya beli di salah satu agen di Kota Sorong

            Perjalanan naik pesawat pertama kalinya dengan uang hasil keringat sendiri pun terasa sangat spesial bagi saya. Walaupun harga tiket yang harus saya bayar bukan termasuk harga yang murah, namun hal ini cukup membuat saya merasa bangga bahwa dengan uang sendiri saya bisa naik pesawat yang mungkin dahulu hanya angan-angan saja. Penerbangan ke Manokwari pun terasa singkat dan tidak terasa pesawat sudah landing di Bandara Rendani. Saya dan rekan RGSB Anggi langsung masuk ke ruang tunggu penumpang transit guna menunggu penerbangan selanjutnya ke Jayapura pada pukul 15:10 WIT. Iya memang kami harus menunggu selama 6 jam di bandara. Tentu menunggu bukan hal yang saya suka dan jeda selama 6 jam akan terasa sangat lama. Namun sekitar jam 2 siang, mendadak langit menjadi gelap dan hujan besar pun langsung mengguyur Bandara Rendani dan wilayah di sekitarnya. Hujan kali ini turun dengan sangat deras dan berlangsung lama hingga jam setengah 4 sore hujan baru reda.
Gamabr 20. Sesaat setelah saya dan rekan RGSB Anggo mendarat di Bandara Rendani Manokwari

            Awalnya penerbangan ditunda 1 jam menjadi pukul 16:00 WIT yang seharusnya pukul  15:10 WIT. Alhasil akan semakin lama kami menunggu kedatangan pesawat. Pukul 16:00 WIT pun telah lewat, namun belum ada kepastian dari pihak maskapai penerbangan. Saya pun mulai cemas dengan nasib kami disini, di Manokwari. Karena disini kami tidak mempunyai kenalan siapa pun jika nantinya pesawat akan di-cancel. Tak lama berselang penerbangan ditunda kembali satu jam sehingga rencana pesawat akan berangkat pukul 17:00 WIT. Namun cuaca di sekitar Bandara Rendani Manokwari kiranya tidak mendukung untuk penerbangan lebih lanjut. Dan pada akhirnya pesawat dengan nomor penerbangan XN-800 yang akan kami tumpangi dibatalkan pemberangkatannya dan pesawat akan berangkat kembali esok pagi. Dan seluruh penumpang diharapkan menuju loket check-in guna mengambil barang bagasi. Dan saat saya mulai mendekat ke loket dan menunjukkan tiket, petugas loket tersebut mengatakan bahwa penumpang transit akan diinapkan satu malam di penginapan. Ah, lega sekali rasanya mendengar penjelasan dari petugas tersebut. Saya yang sebelumnya bingung sekarang mendadak menjadi senang sekali karena bisa bermalam di Manokwari dengan difasilitasi pihak maskapai penerbangan. Ditambah lagi bahwa esok harinya tanggal 12 Januari merupakan hari ulang tahun saya yang ke-22 dan secara kebetulan juga berbarengan dengan Hari Jadi Pertamina Foundation yang ke-4. Tidak terbayang sebelumnya saya bisa merayakan ulang tahun di kota yang baru saja saya kunjungi.


            Mobil model minibus yang bertuliskan Xpress Air segera bergegas meninggalkan Bandara Rendani untuk mengantarkan 5 orang penumpang transit termasuk saya dan Anggi yang akan ke Jayapura menuju Hotel Fujita dimana kami akan bermalam. Penumpang pun dibagi menjadi 3 kamar dimana per kamar akan diisi 2 orang. Dan tentu saja saya dan Anggi memilih untuk satu kamar. Setelah didata di ­resepsionis, kunci pintu kamar hotel telah saya ambil alih. Dan begitu membuka kamar hotel, saya senang bukan main karena kamar tempat kami akan bermalam termasuk kategori yang cukup bagus dengan fasilitas lengkap seperti pendingin udara, televisi layar datar, serta kamar mandi yang dilengkapi air panas. Sungguh tidak bisa saya bayangkan akan begitu menyenangkan perjalanan pulang ke Jayapura ini yang tentu berbanding terbalik dengan cerita saat kami berangkat ke Sorong hingga Raja Ampat.

Gambar 21. Kamar hotel yang kami dapatkan selama menginap satu malam di Manokwari

            Pukul 06:00 WIT mobil jemputan sudah terparkir di depan Hotel Fujita dan tidak lama berselang segera mengantarkan kami kembali ke Bandara Rendani Manokwari. Penerbangan yang seharusnya pukul 08:00 WIT harus diundur menjadi pukul 10:00 WIT karena tidak mendapat ijin dari pihak Dinas Perhubungan Udara. Sehingga kami harus sedikit bersabar menanti pesawat. Namun karena fasilitas di ruang tunggu Bandara Rendani cukup lengkap maka selang waktu tersebut tidak terlalu terasa. Pukul 09:50 WIT kami sudah berada di dalam pesawat untuk siap lepas landas terbang menuju Bandara Sentani Jayapura. Dan sesuai aturan penerbangan sebelum pesawat lepas landas, petugas Pramugari/a harus memperagakan aturan di dalam peswat beserta barang-barang keselamatan penumpang jika terjadi situasi emergency. Saat itu rasa iseng saya muncul, saat Pramugari yang berada di depan saya sedang memperagakan aturan penerbangan yang selayaknya dilakukan oleh seorang pramugari sebelum take off, saya secara terang-terangan merekam pramugari tersebut dengan kamera dan sontak pramugari tersebut tidak sampai tuntas memperagakan sudah bergerak ke arah saya lalu menyuruh saya untuk mematikan kamera. Ia juga sempat berkata untuk menghapus video yang baru saja saya rekam tadi.

Dan akhirnya setelah terbang melintasi langit Papua selama 1,5 jam, pesawat dengan nomor penerbangan XN-800 yang kami tumpangi mendarat dengan selamat di Bandara Sentani Jayapura.
Sesaat setelah Pesawat landing di Bandara Sentani Jayapura

              Demikian cerita pengalaman saya dan rekan RGSB Anggi melanglangbuana dari Jayapura hingga ke Kepulauan terluar dan terindah di Indonesia yaitu Kepulauan Ayau Raja Ampat. Semoga pengalaman ini mampu menginspirasi para netizen yang membaca cerita ini. Dan saya pribadi mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru bagi sahabat-sahabat baru saya yang berada di timur Indonesia. Saya tetap berdoa agar kita bisa berjumpa kembali suatu hari nanti.

Kamis, 12 November 2015

The Most Wanted Place on Indonesia - Part 1


               Di kisah sebelumnya saya menjelaskan akan menceritakan kisah mengunjungi salah satu tempat paling "diburu" di Indonesia (The most wanted place on Indonesia). Awal kisahnya adalah saya dan rekan RGSB Anggi yang tengah menikmati liburan dengan turun ke kota Jayapura. Namun hanya 3 hari saja kami di Kota Jayapura, karena kami telah berencana dan berkoordinasi dengan rekan RGSB Wahyudin yang bertugas di Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat untuk bertemu dan mengunjungi Raja Ampat. Yaps betul, RAJA AMPAT.
               Kami telah membeli tiket kapal PELNI yaitu KM Labobar seharga Rp 405.000,-/orang untuk menuju Kota Sorong pada tanggal 17 Desember 2014. Rencananya kami akan berkunjung ke Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat yang merupakan tempat tugas rekan-rekan RGSB yang berasal dari UNJ. Mereka pun telah menunggu kedatangan kami di Kota Sorong karena kebetulan mereka sedang berada disana untuk keperluan Penyusunan Laporan Bulanan serta agar bisa bersama-sama menuju Kepulauan Ayau, Raja Ampat karena mengingat akses kesana yang cukup sulit menurut mereka. Niat kami pergi ke Raja Ampat selain untuk mengisi waktu liburan, kami juga ingin mengetahui perbedaan masyarakat pedalaman Papua dengan masyarakat pantai serta saling berbagi pengalaman dan metode pembelajaran yang kiranya bisa berguna di semester kedua nanti.

Gambar 1. KM. Labobar yang akan mengantarkan saya dan rekan RGSB Anggi dari Jayapura menuju Kota Sorong.

            Tanggal 17 Desember 2014 jam 8 malam waktu Papua, kapal PELNI KM Labobar yang saya dan rekan RGSB Anggi tumpangi akhirnya angkat jangkar dari Pelabuhan Jayapura untuk segera mengarungi derasnya ombak lautan utra Papua. Kami berdua tidak kebagian tempat tidur di dalam dek kapal yang sudah penuh sesak oleh para pemudik yang akan pulang ke kampung halamannya masing-masing dalam rangka menyambut Hari Raya Natal. Berbeda dengan di Pulau Jawa yang heboh dengan fenomena mudik jika akan Hari Raya Idul Fitri karena mayoritas penduduknya yang beragama Islam, maka di Papua fenomena pulang kampung terjadi menjelang hari raya Natal karena mayoritas penduduknya yang beragama Nasrani dan Protestan. Transportasi Laut yang murah pun masih menjadi primadona di tanah Papua karena belum tersedianya akses jalan darat yang baik dan memadai yang menghubungkan satu kota dengan kota yang lainnya. Dan bisa ditebak kapal yang kami berdua naiki penuh sesak dengan penumpang karena jadwal kapal dari Jayapura hanya ada sekitar 2 kali dalam seminggu. Alhasil kami berdua terpaksa bermalam di dek 7 bagian luar bagaikan tidur di emperan toko dengan hanya beralaskan tikar yang terbuat dari karung beras dan semen yang kami beli di pedagang asongan serta beratapkan sekoci yang digantung di dek 8.

Gambar 2. Pojokan Dek 7 KM. Labobar yang kami gunakan untuk sekedar beristirahat selama perjalanan

            Perjalanan yang akan kami tempuh ke Kota Sorong dengan KM Labobar memakan waktu selama 2 hari 3 malam. Jujur, ini merupakan pengalaman pertama saya naik kapal besar selama berhari-hari. Suka-duka pengalaman pun saya alami selama perjalanan dengan kapal di lautan. Saya bisa bertemu dengan berbagai orang dengan berbagai latar belakang dan asal daerah serta berbagi pengalaman satu sama lain, kehujanan di kapal yang sulit diprediksi cuacanya, dan terakhir bisa melihat kota-kota lain di Papua selama perjalanan antara lain Serui, Nabire, Wasior, dan Manokwari. Namun pengalaman yang paling berkesan selama di atas kapal adalah bertemu dua orang backpacker asal negara Singapura yang naik dari Manokwari menuju ke Kota Sorong. Mereka berdua merupakan suami istri yang berbeda kewarganegaraan, dimana si pria adalah orang Belgia dan istrinya merupakan orang Indonesia tepatnya berasl dari Kota Bandung namun mereka tinggal di Singapura karena pekerjaan. Saya sangat terkejut ketika mengetahui bahwa mereka telah berkunjung ke banyak tempat di Indonesia dari ujung barat hingga timur Indonesia dan uniknya mereka selalu mencari budget yang termurah yang bisa didapat jika berkunjung ke suatu tempat ala seorang backpacker sejati walaupun sebenarnya mereka mempunyai uang yang tidak sedikit. Jujur saja saya sebagai warga Indonesia yang telah lama tinggal di Indonesia sangat malu ketika warga negara asing lebih banyak mengetahui daerah-daerah di Indonesia dibandingkan dengan pengalaman saya yang mungkin hanya sepucuk kuku.

 Gambar 3. Pesisir Pulau Serui jika dilihat dari atas kapal

Gambar 4. Kota beratapkan awan, Wasior

            Setelah melewati perjalanan panjang selama 3 malam 2 hari, akhirnya pagi hari tanggal 20 Desember 2014 kami tiba di Pelabuhan Sorong. Kami pun sudah tidak sabar lagi untuk bertemu kawan-kawan RGSB lainnya yang bersal dari UNJ. Setelah menunggu sekitar 10 menit di Pelabuhan, akhirnya kami dijemput oleh rekan RGSB Wahyudin dan Hermawan. Kami berempat naik angkot untuk menuju ke tempat tinggal sementara rekan-rekan RGSB dari UNJ selama mereka berada di Sorong. Di kontrakan sudah menunggu dua rekan RGSB lainnya yaitu Agus dan Bowo. Seketika itu juga kami berenam pun langsung terlibat percakapan yang cukup menarik tentang pengalaman masing-masing selama masa tugas. Walaupun kami baru dipertemukan ketika pembekalan di Jakarta sebelum berangkat ke Papua dan berlanjut pembekalan di RINDAM XVII Jayapura, namun kebersamaan yang terjalin sudah cukup kuat untuk menjadikan kami lebih dari sekedar teman biasa.
Gambar 5. Para RGSB (Relawan Guru Sobat Bumi) yang berasal dari UNJ

            Selama di Sorong kami mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menuju ke Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat. Sebenarnya kapal yang menuju ke Ayau sore hari setelah saya tiba di Sorong berangkat ke Ayau, namun karena melihat kondisi saya dan rekan RGSB Anggi yang belum fit setelah perjalanan jauh serta rekan-rekan RGSB dari UNJ yang belum mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa ke tempat tugas, akhirnya keberangkatan ke Ayau pun ditunda hingga menunggu kapal yang selanjutnya. Selama menunggu kepastian kabar kapal, selain mempersiapkan barang-barang juga kami berenam (Saya, Anggi, Wahyudin, Hermawan, Bang Agus, dan Bowo) saling berbagi pengalaman serta metode pengajaran selama berada di tempat tugas masing-masing. Tujuannya adalah untuk memperkaya materi pengajaran serta memecahkan masalah pembelajaran yang dihadapi selama mengajar di tempat tugas. Tidak lupa juga kami mengeksplor Kota Sorong dari sudut ke sudut. Menurut pengamatan saya selama mengeksplor kota Sorong, di Sorong jumlah penduduk non-Papua lebih banyak daripada di Kota Jayapura. Karena di jalanan Kota Sorong, saya hanya sedikit melihat masyarakat asli Papua jika dibandingkan dengan jalanan Kota Jayapura yang masih sering menemui masyarakat asli Papua. Tidak hanya itu, biaya hidup di Kota Sorong pun lebih murah jika dibandingkan dengan biaya hidup di Kota Jayapura. Saya ibaratkan biaya hidup di Sorong itu seperti biaya hidup di Jakarta yang kiranya masih masuk di akal.
            Waktu yang ditunggu pun akhirnya tiba, tanggal 24 Desember pukul 24:00 WIT tepatnya saat malam Natal, saya dan 5 rekan RGSB lainnya berangkat menuju ke Kepulauan Ayau Kabupaten Raja Ampat menggunakan Kapal Bintang 23 dengan harga tiket Rp 70.000,-/orang dengan estimasi waktu perjalanan 1 hari 1 malam. Kapal yang kami tumpangi ini sebenarnya merupakan kapal barang yang mengangkut beras Bulog untuk masyarakat Ayau maka dari itu harga tiketnya sangat murah dan juga memerlukan waktu perjalanan panjang. Padahal jika menggunakan kapal cepat, hanya membutuhkan waktu kurang lebih selama 10 jam saja untuk sampai di Ayau. Namun karena kapal cepat yang ke Ayau telah berangkat pada tanggal 20 Desember lalu, maka terpaksa kami naik kapal ini. Karena memang kendala terbesar masyarakat Ayau ketika akan berpergian adalah pada sarana transportasi yang sulit.

Gambar 6. Suasana Kapal Bintang 23
Gambar 7. Salah satu ikonik yang terletak di sekitar Pelabuhan Waisai

            Tanggal 25 Desember 2014 pagi hari kapal singgah di Pelabuhan Waisai, Raja Ampat. Waisai sendiri merupakan ibukota Kabupaten Raja Ampat. Saya pun tidak mau melewatkan pengalaman untuk menginjakkan kaki di Waisai walaupun hanya di sekitar pelabuhannya saja. Namun saya sudah begitu takjub dengan alam Raja Ampat. Bagaimana tidak takjub, perairan di sekitar Pelabuhan Waisai saja sudah sangat jernih dan terdapat karang-karang kecil yang bisa dilihat dari atas dermaga. Saya pun sudah tidak sabar lagi untuk melihat alam Raja Ampat yang sebenarnya yaitu di Kepulauan Ayau. Setelah transit sekitar setengah jam di Waisai, kapal pun kembali melanjutkan perjalanan. Sekitar pukul 20:00 WIT, kapal singgah kembali yaitu di Kabare. Sebenarnya Kabare dan Waisai masih dalam satu pulau, namun perjalanan dari Waisai ke Kabare tidak bisa menggunakan jalur darat karena belum ada jalan yang menghubungkan dua daerah tersebut karena harus membelah perbukitan yang tidak sedikit. Dan akhirnya tepat saat matahari terbit di tanggal 26 Desember 2014, kapal menjatuhkan jangkar di perairan pulau Dorekhar. Ya betul perairan, karena laut di sekitar pantai yang dangkal, jadi kapal yang berukuran agak besar tidak bisa berlabuh di pinggir pantai. Untuk itu penumpang harus berganti kapal ke kapal yang lebih kecil untuk bisa mencapai daratan. Kami pun akhirnya dijemput oleh Kepala Kampung Yenkawir yang merupakan kepala kampung di tempat tugas rekan RGSB Hermawan. Setelah memindahkan barang-barang ke kapal kecil milik kepala kampung akhirnya kami berenam meluncur ke daratan Kampung Yenkawir.

Gambar 8. Suasana loading barang dari Kapal Bintang 23 ke kapal yang lebih kecil (kapal speed)


Ada rasa yang tak biasa ketika pertama kali menginjakkan kaki di kapal kecil dan akhirnya menaikinya. Saya yang notabene tinggal di pesisir Jawa baru pertama kali naik kapal nelayan sekecil ini. Rasa takut yang tak terkira pun saya rasakan ketika kapal sedikit oleng karena ombak. Dan setelah melewati perjalanan yang menegangkan tadi pun akhirnya kaki saya bisa menginjak daratan pulau Dorekhar tepatnya di Kampung Yenkawir. Setelah membereskan barang-barang dari kapal menuju rumah guru yang merupakan tempat tinggal rekan RGSB Hermawan, saya langsung menuju dermaga kampung Yenkawir. Rasa takjub pun tidak bisa saya pungkiri melihat kekayaan alam Raja Ampat. Pemandangan laut biru beserta pulau-pulaunya serta gerombolan ikan-ikan kecil yang sangat banyak berenang-renang di bawah dermaga Yenkawir menambah rasa takjub saya. Saya pun langsung mengambil kamera seakan-akan tidak mau ketinggalan moment pemandangan yang indah di sekitar dermaga. Rekan RGSB Anggi pun tidak mau kalah, ia langsung membeli benang nilon dan mata kail untuk memancing di dermaga. Dan benar saja, tidak lama setelah ia beberapa kali mencoba melempar kail, akhirnya ia mendapatkan ikan yang cukup besar bagi ukuran saya yang biasa melihat ikan-ikan sungai di Ubrub.

Gambar 9. Dermaga Kampung Yenkawir Kepulauan Ayau, Kab. Raja Ampat. Begitu indah bukan?

            Esok harinya kami berenam berangkat berjalan kaki ke kampung Dorekhar yang merupakan tempat tugas rekan RGSB Beni dimana hari itu juga bertepatan dengan perayaan Natal Bersama se-Ayau. Jadi pada hari itu semua kampung yang ada di Kepulauan Ayau berkumpul di satu tempat untuk melakukan perayaan diantaranya yaitu parade “toki tambur” keliling kampung. Toki Tambur merupakan kesenian musik khas Raja Ampat dimana alat musik yang dimainkan yaitu Tambur yang berbentuk seperti tifa namun jauh lebih besar serta dimainkan dengan cara dipukul menggunakan kayu. Tidak lupa seruling khas Raja Ampat pun menjadi bagian di dalamnya sehingga parade tersebut juga disebut “Seruling Tambur”. Tahun ini yang menjadi tuan rumah adalah kampung Dorekhar dimana rekan RGSB Beni ditugaskan. Untuk bisa mencapai kampung Dorekhar dari kampung Yenkawir harus berjalan kaki kurang lebih selama satu jam atau bisa juga menggunakan kapal dengan lama perjalanan sekitar 15 menit.

Gambar 10. Masyarakat kampung Yenkawir saat berlatih "Seruling Tambur"

Gambar 11. Teluk Qui di Kampung Dorekhar Kepulauan Ayau.
"So beautiful place, right?"

            Selama perayaan Natal Bersama se-Ayau di Dorekhar, saya lebih banyak mengenal kehidupan masyarakat Raja Ampat melalui cerita-cerita dari rekan RGSB ataupun langsung dari berbincang-bincang bersama masyarakat. Sungguh bukan hanya alamnya saja yang indah, ternyata Raja Ampat juga menyimpan kearifan lokal masyarakat yang jauh dari bayangan saya mengenai masyarakat Papua. Selama sehari semalam pun masyarakat larut dalam keceriaan hingga pada akhirya hari Minggu tanggal 28 Desember 2014 setelah selesai ibadah, masyarakat kembali ke kampungnya masing-masing. Dan sesuai rencana saya dan rekan RGSB Anggi ikut kapal masyarakat kampung Reni untuk berkunjung ke tempat tugas rekan RGSB Wahyudin di pulau Reni yang berjarak 2 jam perjalanan menggunakan kapal dari Dorekhar.

Gambar 12.  Saat pesiar (jalan-jalan) ke Pulau Rutum bersama keluarga kecil kepala sekolah SD Inpres 13 Reni

            Kami pun tiba di pulau Reni sekitar pukul 14:00 WIT dan bermalam di rumah guru tempat tinggal rekan RGSB Wahyudin dan Kepala Sekolah SD Inpres 13 Reni. Selama di Reni saya mendapat pengalaman yang lebih banyak serta bisa lebih dekat dengan masyarakat Kepulauan Ayau yang sangat baik. Selain mengeksplor pulau Reni, saya juga berkunjung ke Pulau Rutum yang merupakan tempat tugas rekan RGSB Agus. Dan dari keseluruhan tempat yang saya kunjungi, tidak ada satu tempat pun di Ayau yang tidak indah. Semua di Ayau merupakan tempat paling indah yang pernah saya kunjungi. Pasir putih, laut biru tosca, keanekaragaman flora dan fauna laut yang tidak ada bandingannya dengan laut Jawa. Hingga akhir tahun saya berada di Reni karena berencana merayakan Tahun Baru 2015 disana.
               Ingin tahu cerita saya dan teman-teman RGSB lain selama di Kepulauan Ayau Raja Ampat? tunggu kisah selanjutnya. "To be continue......"

 Desember, 2014
Ayau, Kabupaten Raja Ampat





BAGUS DWI MINARNO  

Rabu, 16 September 2015

Desember singkat di Ubrub



            Awal bulan ini tidak seperti biasanya sekolah terlihat lebih ramai dari hari-hari sebelumnya. Hal ini disebabkan karena guru-guru yang sudah dua bulan lebih berada di kota kembali naik ke Ubrub dan seminggu pertama bulan ini dijadikan sebagai minggu pemantapan untuk menghadapi Ujian Akhir Semester (UAS) 1 yang rencananya akan diselenggarakan di minggu kedua bulan Desember 2014. Jadi selama seminggu pertama bulan ini semua siswa diwajibkan untuk berangkat sekolah tanpa pengecualian karena guru-guru yang baru naik dari kota akan menjejali otak murid-murid dengan materi-materi yang akan diujikan. Hal ini tentu sangat disayangkan karena dari pengalaman saya mengajar di kelas VI selama kurang lebih 3 bulan pun materi yang saya ajarkan tidak terlalu banyak karena kemampuan daya tangkap dan kerja logika dari siswa yang masih sangat kurang baik. Keadaan yang demikian memaksa saya untuk mengulang-ulang materi yang sama terutama dalam hal baca tulis hitung (calistung).serta budi pekerti. Saya yang hanya berperan relawan guru di sekolah tersebut pun hanya bisa mempertahankan kelas yang saya ajar agar tidak diracuni oleh guru-guru yang buta kondisi kemampuan siswanya. Karena guru-guru yang baru naik dari kota ini biasanya mengajarkan materi yang sama persis dengan materi yang tercantum dalam buku paket. Padahal kemampuan siswanya belum tentu menguasai materi tersebut karena materi dasarnya saja banyak siswa yang belum lancar bahkan tidak bisa sama sekali. Jadi bagaimana siswa mampu mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan menguasainya bisa dibilang akan sulit tercapai jika guru-guru lokal tersebut masih menerapkan sistem yang demikian.


Gambar. Kepala Sekolah dan para Dewan Guru sedang mengumunkan akan dilaksanakannya Ujian Semester Ganjil kepada para siswa SD YPPK Ubrub

            Pekan pertama bulan Desember ini yang ditetapkan oleh kepala sekolah sebagai minggu pemantapan materi saya gunakan hanya untuk mengulas kembali materi yang pernah saya ajarkan selama tiga bulan ini dan bagi saya bukan merupakan pekan yang begitu penting. Karena bagi saya hasil belajar siswa bukan hanya dilihat dari nilai ujian saja namun yang paling terpenting adalah nilai yang ada selama proses pembelajaran berlangsung. Karena hakikat pendidikan yang terpenting terletak pada bagaimana proses siswa dalam belajar dan bukan semata-mata melihat bagaimana hasil dari ujian mereka. Karena sesungguhnya pendidikan itu adalah bagaimana mengarahkan manusia dari yang sebelumnya tidak baik menjadi baik atau dari yang sebelumnya tidak tahu sehingga akhirnya menjadi tahu, bukannya merubah manusia menghalalkan segala cara demi mendapatkan sebuah nilai bagus.

Gambar. Saya sedang mengajari salah satu murid kelas VI (Melkias Tuu) tentang cara mengerjakan soal hitung campuran


            Akhirnya yang dinanti-nati pun tiba, Ujian Akhir Semester (UAS) 1 bagi siswa-siswi SD YPPK Ubrub pun dimulai hari Senin tanggal 8 Desember 2014. Walaupun pelaksanaan UAS 1 di Ubrub bisa dibilang paling terakhir dari sekolah lain di lingkup kabupaten Keerom, namun tidak menyurutkan semangat anak-anak untuk tetap mengikuti ujian. Namun ada hal yang mengganjal di hari pertama pelaksanaan UAS 1 kali ini, yaitu hadirnya murid siluman yang ikut dalam ujian. Ia adalah murid kelas VI bernama Sior yang tidak pernah berangkat sekolah selama satu semester ini dan tiba-tiba hadir di dalam kelas mengikuti ujian setelah mendapatkan ijin dari guru lokal setempat. Saya sendiri yang notabene guru kelas VI sebenarnya merasa keberatan dengan diijinkannya Sior mengikuti UAS 1 tanpa pernah berangkat sebelumnya. Tapi apa daya, saya yang hanya menjadi relawan guru disini pun tidak bisa berbuat banyak untuk melarangnya karena keputusan itu hanya bisa diambil oleh pihak sekolah. UAS 1 pun berjalan cukup lancar dengan sedikit kendala misalnya banyak siswa yang tidak berangkat pada hari keempat pelaksanaan UAS 1 karena hujan turun cukup lebat malam sebelumnya sehingga menyebabkan Kali Em banjir sehingga menyulitkan siswa yang tinggal di Kampung Ujung Lapangan. Namun keadaan demikian bisa saya atasi dengan mengadakan ujian susulan di hari Jumat dan Sabtu.

Gambar. Perjuangan anak-anak untuk mengikuti Ujian Semester Ganjil

Gambar. Pelaksanaan Ujian Semester Ganjil di SD YPPK Ubrub

            Setelah merekap semua nilai siswa kelas VI dan menyerahkannya kepada wali kelas VI yaitu Ibu Devota, akhirnya tugas saya di semester ini sudah selesai. Masalah rekap nilai di buku rapor, Kepala Sekolah sedang mengusahakan pengadaan buku rapor baru karena rapor siswa banyak yang hilang dan memiliki banyak versi sehingga perlu disamakan. Karena tugas saya telah selesai, maka dari itu saya bisa turun kota untuk menyusun dan mengirim laporan bulanan kepada pihak Pertamina Foundation tepat sehari seusai UAS 1 selesai yaitu pada hari Minggu tanggal 15 Desember 2014. Saya beserta dua rekan RGSB lainnya yaitu Anggi dan Azis berangkat menggunakan mobil sewaan yang telah dipesan Kepala Sekolah sehari sebelumnya. Kami meluncur dari Ubrub usai ibadah hari Minggu di gereja sekitar pukul 11:00 WIT dan setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan akhirnya kami tiba di Kota Jayapura sekitar pukul 18:00 WIT. Rekan-rekan RGSB yang bertugas di Keerom telah sepakat bahwa libur semester ini akan mengontrak rumah ataupun indekost. Dan akhirnya kami sepakat untuk indekost di daerah Dok 5 Atas Kota Jayapura karena merupakan milik saudara dari rekan RGSB Azis, dengan harga sewa Rp 250.000,- / orang sudah termasuk listrik dan air.
            Namun saya dan rekan RGSB Anggi hanya 3 hari saja di Kota Jayapura. MENGAPA saya dan RGSB Anggi hanya 3 hari di Kota Jayapura? Ingin tahu kisah selanjutnya? Tunggu kisah berikutnya tentang perjalanan saya mengunjungi “The Most Wanted Place on Indonesia”....



Papua, Desember 2014




Bagus Dwi Minarno

Kamis, 10 September 2015

November (No I've Remember) on Ubrub


November (No I've Remember) on Ubrub


        Di awal bulan November ini, masyarakat Ubrub, Distrik Web mempunyai hajat besar yaitu pergantian Pastor Paroki ST. Bonifasius Ubrub dari Pastor Willi digantikan oleh Pastor Fellixs dimana keduanya sama-sama berasal dari Nusa Tenggara Timur. Acara pergantian Pastor Paroki juga sangat meriah. Acara dimulai dari pagi hari setelah ibadah Misa Minggu dengan tamu dari Dekenat Keerom dan Keuskupan Jayapura dan dilanjut sore hari hingga pagi hari lagi. Acara pelepasan Pastor lama yaitu Pastor Willi dan Penyambutan Pastor baru yaitu Pastor Fellixs itu sendiri sangat menyita banyak tenaga masyarakat hingga murid-murid SD YPPK Ubrub harus ikut terlibat mulai dari pra-acara hingga pasca acara. Acara dimulai di Gereja setelah Misa dengan membacakan SK Pergantian Pastor Paroki yang dibacakan oleh Pastor dari Keuskupan Jayapura dan Dekenat Keerom. Setelah itu di sore hari menjelang petang acara dilanjutkan dengan dibuka oleh tarian adat khas Web yaitu tarian Ikat Kepala (Kepala Pendek). Saya sendiri baru mengetahui pakaian khas tarian adat disini ternyata banyak menggunakan daun-daun dari tanaman yang banyak tumbuh di sekitar masyarakat Web. Saya kira pakaian khas dari Papua hampir semua sama yaitu menggunakan rumbai-rumbai dan koteka. Namun ternyata beda daerah juga beda pakaian adatnya. Sungguh kaya kebudayaan di Indonesia ini.

Gambar. Pakaian adat tarian Ikat Kepala Pendek khas Distrik Web Kab. Keerom

          Ada hal unik yang saya temui disini, terutama dalam hal berpidato atau berbicara di depan massa. Dalam acara pergantian Pastor Paroki Ubrub yang lalu, sangat banyak masyarakat yang memberikan sambutan. Mulai dari jajaran Pastor, Perwakilan pejabat kampung, pejabat distrik, perwakilan Dewan Paroki, hingga perwakilan Gereja dari kampung-kampung sekitar Ubrub yang tentu tidak sedikit. Mereka berbicara pun tidak sebentar, kemudian pembicaraannya hanya berputar-putar saja dan terkesan kurang begitu penting dengan bahasa tingkat “tinggi” yang tentu mereka sendiri belum tentu paham betul maknanya. Maka dari itu pada sesi sambutan-sambutan tadi memakan waktu sangat lama hingga 2 jam lamanya. Hal ini tentu sangat berbanding terbalik 180 derajat dengan murid-murid saya yang sangat malu untuk berbicara di depan kelas. Entah apa yang membuat hal demikian sangat berbanding terbalik.
             Hal unik kedua yang hanya saya temui disini adalah masyaraat disini lebih menyukai lagu-lagu dengan ritme disko daripada dangdut. Mereka juga sangat fasih dalam bergoyang di lagu dengan ritme disko. Saat sesi hiburan dalam acara pergantian Pastor Paroki Ubrub yang lalu, dengan memutar lagu-lagu ritme disko, masyarakat dari anak kecil hingga orang tua pun bergoyang riang hingga pagi hari tiba. Aneh memang, mereka kuat berdiri bergoyang-goyang selama berjam-jam. Saya pun hanya kuat hingga pukul 01.00 dinihari, itu saja kaki sudah lemas sekali. Untuk itu jika anda mengaku jago dalam bergoyang terutama menari ala breakdance, datanglah kesini. Saya pastikan anda akan menjadi trendsetter di depan anak-anak.

Gambar. (dari kiri) Pastor Willi, Pastor (Dekan) Roni, Pastor (OSA Jayapura), Pastor Fellix saat malam perpisahan Pater Willi dengan masyarakat Ubrub.

            Selain cerita tentang acara pergantian Pastor Paroki Ubrub di atas, bulan November ini banyak cerita menarik yang ingin saya tuliskan disini. Mulai dari kondisi pemukiman para warga asal kampung Somografi yang cukup memprihatinkan, acara adat penyembuhan orang sakit yang berlangsung berhari-hari, perjalanan ke kampung Yamrab mengantarkan rekan RGSB Azis, dan masih banyak lagi.

Ironi Kampung Ujung Lapangan
         Saat pertengahan bulan November ini, sore hari ketika saya dan rekan RGSB Anggi sedang bersantai sambil menunggu jam mandi, kami diajak oleh Bang Ferdi untuk mencari pisang masak di Kampung Ujung Lapangan. Kampung Ujung Lapangan merupakan pemukiman kecil di seberang Kali Em yang dihuni oleh masyarakat asal kampung Somografi. Kampung Somografi itu sendiri terletak sangat jauh. Jika akan menuju kesana harus ditempuh dengan berjalan kaki menembus hutan yang lebat dan melewati beberapa sungai selama kurang lebih 8 jam perjalanan (ukuran orang lokal). Maka dari itu masyarakat Somografi membuat pemukiman untuk tempat tinggal sementara ataupun menetap cukup lama jika ada keperluan di Ubrub seperti bersekolah. Setengah dari murid saya di Kelas VI merupakan murid pindahan dari kampung Somografi. Maka dari itu mereka semua tinggal sementara di kampung ujung lapangan hingga lulus. Kondisi pemukiman di kampung ujung lapangan bisa dibilang sangat memprihatinkan. Rumah-rumah disana beratapkan daun sagu, berdinding pelepah sagu, dan beralaskan papan kayu yang dibuat rumah panggung. Tentu kondisi ini sangat berbeda dengan keadaan rumah masyarakat Ubrub yang ada di kampung Umuaf yang sudah semi-permanen dengan kayu dan seng.

Gambar. Salah satu rumah yang ada di area Kampung Ujung Lapangan

          Kondisi di dalam rumah pun terlihat seadanya tanpa sekat dan ruang pemisah antara dapur dan kamar. Saya sendiri selama kurang lebih hampir 3 bulan di Ubrub baru bisa berkunjung kesini. Hal ini seakan membukakan mata saya bahwa masih banyak masyarakat Indonesia di pedalaman yang belum bisa dikatakan layak secara standar hidup masyarakat Indonesia. Masyarakat kampung ujung lapangan sendiri jarang mengkonsumsi beras karena mengandalkan beras bantuan BK3 dari pemerintah daerah. Namun dengan keterbatasan yang ada, murid-murid saya yang berasal dari sini layak diberi apresiasi khusus. Karena mereka harus berjuang menuntut ilmu melewati derasnya aliran Kali Em dan jika sungai banjir tidak jarang mereka terpaksa tidak bisa berangkat sekolah. Murid-murid saya yang tinggal di kampung ujung lapangan pun sangat penurut dan rajin jika dibandingkan dengan anak-anak asli dari kampung Umuaf. Walaupun daya tangkap mereka bisa dibilang masih kalah dari anak-anak Umuaf namun mereka mau belajar dan tidak banyak bertingkah. Jujur saja saya lebih menyukai murid-murid pindahan ini daripada murid-murid asli Ubrub karena mereka mempunyai semangat belajar serta mau mendengarkan apa yang saya katakan.
Gambar. Perjuangan anak-anak dari Kampung Ujung Lapangan untuk secercah harapan baru

Tradisi Adat Ikat Kepala sebagai Sarana Penyembuh
             Pertengahan November ini mendadak sekolah menjadi sepi dan hanya beberapa anak saja yang berangkat. Selain karena semua guru PNS sedang berada di kota untuk Pelatihan Kurikulum 2013, juga karena ada acara adat penyembuhan orang sakit “ikat kepala (kepala panjang)” di kampung sebelah, Kampung Onggalom. Pak Didimus selaku satu-satunya guru PNS yang masih tinggal di Ubrub memberikan instruksi kepada kami para Relawan Guru Sobat Bumi yang membantu di Ubrub untuk meliburkan sekolah saja selama seminggu saat semua guru PNS nanti pelatihan kurikulum 2013 di kota. Karena memang selain karena tidak ada guru PNS juga di kampung sebelah ada acara adat dan biasanya jika ada acara adat seperti itu, anak-anak banyak yang tidak berangkat sekolah. Namun saya dan dua rekan RGSB yang lain memutuskan akan tetap mengajar jika ada murid yang berangkat sebagai bentuk tanggung jawab kami. Dan benar saja, selama seminggu itu saya hanya mengajar di hari Senin dan 5 hari setelahnya sekolah sepi karena siswa yang berangkat bisa dihitung dengan jari. Karena penasaran, akhirnya saya dan rekan RGSB Azis berangkat menuju Kampung Onggalom beserta Frater Sersius dan Pastor Fellixs yang kebetulan juga diundang kesana untuk memimpin doa pada acara puncak Ritual adat tersebut.

Gambar. Saat Perjalanan menuju Kampung Onggalom di siang bolong.

              Siang hari yang cerah dengan guyuran sinar matahari yang terik, kami berempat pun berangkat ke Kampung Onggalom dengan berjalanan kaki. Langkah demi langkah dengan trek berbatu dan jalanan yang menanjak serta menurun pun menjadi santapan kami siang itu. Alhasil deru napas kami semakin cepat dan kelenjar keringat pun segera menghasilkan bulir-bulir keringat yang berhasil membuat kami merindukan setetes air minum. Sialnya kami berangkat hanya dengan tangan kosong tanpa membawa bekal air minum satu tetes pun. Beruntung di tengah perjalanan, kami bertemu sosok baik hati yaitu rombongan mobil Bapak Dani (Ketua Dewan Paroki Ubrub) yang akan menuju kembali ke Ubrub setelah dari kota. Setelah berbincang-bincang sekejap, kami pun diberi 2 botol air minum ukuran sedang. Namun saya tak habis pikir tentang cara berpikir Pastor Fellixs. Dari 2 botol yang kami dapat tadi, 1 botol ia minum sendiri tanpa mempedulikan kami bertiga yang minum hanya 1 botol saja. Alih-alih memberikan sisa air minumnya kepada kami, malahan sisa air minum yang tersisa di botol ia gunakan untuk mengguyur kepalanya. Sungguh unpredictable Pastor baru ini. Saya pun hanya bisa mengelus dada atas kejadian ini.
                Setelah berjalan kaki selama 1,5 jam, akhirnya kami tiba di kampung Onggalom. Bagitu tiba disana saya melihat rombongan penari berpakaian khas tarian ikat kepala (kepala panjang) dengan berpakaian daun-daun dan kayu di atas kepala yang menjulang tinggi ke atas kira-kira setinggi 1,5 hingga 2 meter dengan beberapa hiasan etnik khas Papua. Jujur bagi pendatang baru seperti saya, para penari tadi terlihat agak menyeramkan. Mungkin jika di Jawa, akan banyak anak kecil yang lari ketakutan jika melihat para penari tarian ikat kepala (Kepala Panjang). Tarian adat ikat kepala terdiri atas 2 macam, yaitu kepala pendek dan kepala panjang. Khusus kepala panjang, diperuntukan untuk ritual penyembuhan orang sakit dan kebangkitan arwah leluhur serta hanya dimainkan di siang hari atau selama matahari muncul. Namun dalam tarian ikat kepala (kepala panjang) pun, tetap harus ada penari kepala pendek sebagai syarat orang yang akan menyembuhkan. Perbedaan yang mencolok antara kepala pendek dan kepala panjang adalah ada pada kostum atau pakaian yang dipakai beserta hiasannya. Jika kepala panjang terlihat simpel di kostum yang dipakai sehingga hanya terlihat kakinya saja dengan rumbai-rumbai daun yang menutupi kepala hingga paha, beda halnya dengan kostum penari kepala pendek. Kostum dari penari kepala pendek terlihat lebih berwarna dan lebih kompleks karena terdiri dari dedaunan yang berasal dari beberapa jenis tanaman, bulu-bulu dari beberapa jenis burung, taring babi, serta noken besar yang ada di punggung penarinya. Namun yang paling mencolok adalah hiasan di atas kepala-lah yang membedakan. Hiasan kepala di penari kepala pendek hanya beberapa cm saja di atas kepala, sedangkan hiasan kepala yang ada di penari kepala panjang sangat tinggi menjulang dengan ornamen-ornamen kayu serta pernak-pernik lain yang sangat etnik. Selain itu juga cabang hiasan kepala pada kepala panjang ada beberapa macam, terdiri dari satu hingga empat cabang.

Gambar. Para penari "Ikat Kepala Panjang" mulai memasuki area ritual

             Setelah menunggu hampir dua jam lamanya, akhirnya acara ritual puncak penyembuhan orang sakit pun dimulai. Pertama-tama sekitar sepuluh penari kepala panjang dengan kaki hitam memasuki area ritual dengan diikuti penari wanita yang langsung memegangi helai daun pakaian penari kepala panjang. Selang beberapa menit, penari kepala panjang dengan kaki cokelat muda memasuki area ritual disusul empat penari kepala pendek. Setelah itu Pace Jordan (Orang yang akan disembuhkan) beserta keluarganya dipersilahkan duduk di bangku yang telah disiapkan di tengah area ritual. Ritual dimulai dengan doa yang dipimpin oleh Pastor Fellixs.. Kemudian dua penari kepala panjang yang ujung hiasan kepalanya berbentuk bulat dipersatukan di tengah area ritual sehingga membentuk suatu terowongan dimana orang yang akan disembuhkan ada di bawahnya. Kemudian salah satu penari kepala pendek mengoleskan tanah liat khusus yang telah diberkati sebelumnya ke beberapa bagian badan Pace Jordan beserta keluarganya termasuk anaknya yang paling kecil yang merupakan anak Albino. Setelah itu semua penari mulai melakukan tari-tarian ke segala penjuru arah dan memainkan alat musik khas Papua mulai dari Tifa hingga terompet tiup yang berbentuk juga seperti tifa. Saya sendiri kurang begitu mengerti pakem arah gerakan penari-penari tersebut dalam ritual tadi. Namun yang jelas ritual ikat kepala panjang sangat jarang dimainkan karena hanya diadakan jika ada masyarakat yang ingin disembuhkan secara tradisional. Untuk itu saya merasa beruntung bisa melihat langsung ritual tersebut walaupun harus berjalan kaki begitu jauh.


Gambar. Saat ritual penyembuhan sedang berlangsung

                           Berbicara mengenai anak Albino yang terlibat dalam ritual penyembuhan di atas, saya menemukan hal unik disini terutama di kampung Onggalom ini. Walapun kampung Onggalom hanya terdiri dari 10 rumah, namun terdapat dua anak Albino disini dimana mereka merupakan kakak-beradik. Albino sendiri setahu saya merupakan kelainan genetik dimana orang tersebut kehilangan pigmen warna mulai dari rambut, kulit, hingga warna bola mata. Sehingga jika ada orang Albino di Papua tentu akan sangat nampak jelas berbeda dengan masyarakat disini. Selain di kampung Onggalom, ada satu lagi anak Albino yang saya tahu tinggal di kampung Yuruf dimana anak tersebut telah remaja. Namun anak-anak Albino disini sangat memprihatinkan dimana kulitnya banyak terdapat flek-flek hitam karena terlalu lama terpapar sengatan sinar Matahari. Karena panas sinar matahari siang di Papua sangat berbeda dengan panas di pulau Jawa karena jarak garis lintang dengan garis Khatulistiwa lebih dekat. Maka dari itu panas sinar matahari siang Papua akan sangat menyengat di kulit.

Perjalanan nan ajib ke Kampung Yamrab
                Minggu pagi tanggal 23 November 2014 sekitar jam 7 pagi, kami bersembilan yaitu saya, rekan RGSB Anggi dan Azis, Frater Sersius, Pastor Fellixs, dan 4 siswa SMP lainnya bertolak dari Ubrub untuk menuju Kampung Yamrab. Tujuan kami kesana adalah mengantarkan Frater Sersius dan rekan RGSB Azis untuk menetap disana. Tempat tugas rekan RGSB Azis yang sebenarnya adalah di SD YPPK Yamrab namun karena dari Dinas P dan P dan Kepala Sekolah tidak ada kejelasan maka sementara ia berada di Ubrub bersama saya dan rekan RGSB Anggi. Sementara Frater Sersius telah ditugaskan oleh Pastor Fellixs tinggal sementara disana untuk memberi layanan keagamaan di Gereja Yamrab 1. Maka dari itu setelah mengetahui Frater Sersius akan tinggal di Yamrab, rekan RGSB Azis mau berpindah penempatan ke Yamrab karena ada yang menemaninya.


Gambar. Perjalanan menuju Kampung Yamrab dengan berbagai barang bawaan
melalui jalan yang basah dan berlumpur.

                 Perjalan kami diiringi gerimis sepanjang jalan yang mendaki dan menurun serta sedikit becek karena malam harinya hujan turun lumayan deras. Beberapa kali kami pun harus melewati kali yang jembatannya belum jadi. Namun perjalanan ke Yamrab ini masih lebih baik daripada perjalanan ke Kampung Onggalom. Sepanjang perjalanan pun kami disuguhi pemandangan luar biasa berupa hamparan perbukitan, hutan yang masih sangat lebat, dan kabut yang sempat turun serta udara sejuk ala pedalaman yang tidak akan saya temukan di kota asal saya yaitu Kota Tegal yang sudah sangat padat penduduk. Setelah berjalan kaki selama 1 jam 15 menit, akhirnya kami tiba di Gereja Yamrab 1. Kondisi lingkungan dari Kampung Yamrab sedikit berbeda dengan kampung Umuaf dimana perkampungannya terlihat rapi dan bersih serta cuacanya yang sejuk dengan pepohonan rindang yang banyak tumbuh di sekitar Gereja. Masyarakat Yamrab pun nampak lebih ramah jika dibanding masyarakat Umuaf. Hal ini terlihat dari sambutan mereka ketika kami tiba disana dan saat perkenalan kami setelah Ibadah Misa hari Minggu oleh Pastor Fellixs. Setelah dijamu dan istirahat sejenak, akhirnya kami harus meninggalkan rekan RGSB Azis dan Frater Sersius untuk kembali ke Ubrub. Sekitar pukul 12 siang kami pulang menuju Ubrub dengan berjalan kaki kembali ditemani terik Matahari yang mulai menunjukkan sinarnya setelah mendung daritadi pagi. Perjalanan pulang terasa lebih berat karena udara mulai panas yang akhirnya memaksa saya untuk membuka baju setelah setengah perjalanan. Akhirnya sekitar pukul 1 siang, saya dan rekan RGSB Anggi tiba di Ubrub sementara rombongan Pastor Fellixs dan siswa-siswa SMP kami tinggalkan di belakang karena terlalu menikmati perjalanan.

Gambar. Pater Fellix sedang memperkenalkan rekan RGSB Azis dan Frater Sersius yang akan tinggal beberapa waktu di Yamrab.



Gambar. Perjalanan kembali ke Ubrub

            Secara keseluruhan bulan November ini lebih memberikan kesan daripada bulan lalu dan masih banyak cerita-cerita menarik lainnya yang kiranya tidak bisa saya tuliskan semuanya disini. Namun bulan ini kehidupan saya agak sedikit lebih “bersuara” daripada bulan-bulan sebelumnya terutama jika di dalam rumah. Karena rumah sebelah yang merupakan rumah dari Bapak Didimus bulan ini kembali dihuninya beserta keluarganya. Bapak Didimus sendiri merupakan guru PNS asli dari Ubrub namun keluarganya tinggal di kota. Bulan ini mereka pindah kembali ke Ubrub karena menurut rencana, Pak Didimus akan menjadi kepala sekolah di SD YPPK Ubrub menggantikan Bapak Vincent yang akan menjadi kepala sekolah di SD YPPK Amgotro bulan Januari nanti. Bapak Didimus mempunyai seorang istri dan empat orang anak yang masih kecil-kecil dimana anak yang paling besar baru menginjak kelas 3 SD. Tiada hari tanpa tangisan selama mereka disini. Pagi, siang, ataupun malam, selalu saja anak-anak dari Pak Didimus berkelahi dan menangis. Jujur suara-suara tersebut sangat mengganggu saya karena bulan-bulan lalu kehidupan kami tenteram tanpa gangguan. Tempat penampungan air hujan sebagai sumber air minum dan mencuci alat-alat masak pun cepat sekali habis. Itu karena ulah dari anak-anak Pak Didimus yang sering bermain air. Saya sebagai pendatang pun tidak bisa berbuat apa-apa. Walaupun sebenarnya ingin rasanya saya memarahi mereka ketika berulah. Namun itu semua akan coba saya hadapi dan nikmati ke depannya. Semoga bulan-bulan selanjutnya hingga akhir masa tugas, saya masih tetap disini, yaitu Ubrub Distrik Web Kabupaten Keerom dan tidak dipindahkan ke tempat lain karena menurut saya sudah terlambat kiranya jika Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kab Keerom akan memindah tugaskan saya ke tempat lain. Karena jika ingin demikian seharusnya dari awal penempatan mereka seyogyanya memperlakukan kami dengan layak dan tidak seenaknya sendiri. Demikian cerita dari saya di bulan November 2014.


Web, Kabupaten Keerom




BAGUS  DWI  MINARNO