Sabtu, 26 Desember 2015

The Most Wanted Place on Indonesia - Part 2

Dua Guru Sobat Bumi Berkelana di Ujung Bumi Cenderawasih

“Raja Ampat merupakan daerah dengan kekayaan bawah laut terkaya di dunia”

            Sebuah kutipan dari badan Conservation International Indonesia atau biasa disingkat CII yang menandakan bahwa ada satu daerah di Indonesia yang mempunyai aset kekayaan alam luar biasa sehingga menarik perhatian semua orang untuk berkunjung kesana.
            Cerita berikut ini merupakan kelanjutan dari cerita yang mengkisahkan dua orang Guru Sobat Bumi yang mendapatkan tugas mengajar di ujung timur Indonesia tepatnya di Distrik Web Kabupaten Keerom Provinsi Papua yang melakukan perjalanan dengan modal nekat ke ujung barat pulau Papua tepatnya Kabupaten Raja Ampat karena naluri jiwa mudanya yang haus akan pengalaman dan rasa ingin tahu yang tinggi tentang kondisi yang sebenarnya dari Papua secara keseluruhan.
Gambar 1. Salah satu tempat tereksotis di Kepulauan Ayau, Raja Ampat

            Jika pada bulan lalu sudah saya ceritakan tentang perjalanan kami (saya dan Anggi) berangkat dari ujung timur hingga ujung barat pulau Papua hingga sedikit bercerita kesan pertama menginjakkan kaki di Kabupaten Raja Ampat yang banyak dibicarakan orang. Maka kali ini saya akan ceritakan kelanjutan ceritanya yang membuat kami lebih takjub akan betapa kayanya Raja Ampat bukan hanya dari kekayaan alamnya namun juga kebudayaan serta ciri khas masyarakatnya. Dalam cerita ini pula akan diceritakan perjalanan pulang kami kembali ke Jayapura yang penuh dengan lika-liku.
            Tepat pukul 00:00 WIT tanggal 1 Januari 2015, lonceng Gereja Kristen Prothestan Reni dibunyikan sebagai tanda bahwa tahun 2014 telah ditutup dan mulai memasuki tahun baru 2015. Menurut tradisi kebudayaan Kampung Reni dalam menyambut tahun baru , Reni mempunyai tradisi unik namun sangat patut ditiru oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Jadi ketika telah tiba waktu tahun baru yaitu pukul 00:00, lonceng gereja pertama dibunyikan kemudian masyarakat harus berada di dalam rumah masing-masing untuk berdoa bersama keluarga dengan harapan-harapan yang kiranya ingin dicapai di tahun yang baru. Tidak lama berselang setelah doa bersama selesai, lonceng gereja yang kedua pun dibunyikan, hal ini menandakan bahwa masyarakat Reni dipersilahkan untuk memukul barang-barang di rumah dan sekitarnya yang bisa menimbulkan suara nyaring seperti memukul panci, wajan, atap seng, ember, lonceng sekolah, derigen air, atau bahkan kembang api maupun petasan. Praktis dalam rentang waktu tersebut kampung Reni yang hanya berupa “gundukan” pulau kecil mendadak sangat gaduh dan langit dipenuhi cahaya kembang api yang tidak kalah dengan daerah perkotaan pada umumnya. Setelah dirasa cukup, maka lonceng gereja yang ketiga pun dibunyikan. Untuk lonceng yang ketiga ini saya kira sangat patut ditiru oleh masyarakat di seluruh Indonesia pasalnya setelah itu seluruh masyarakat Reni berbondong keluar rumah berkeliling kampung bersalam-salaman dari satu rumah ke rumah yang lain tanpa ada yang terlewat seperti halnya tradisi ketika Idul Fitri yang ada di pulau Jawa. Tuan rumah pun harus menyediakan jamuan kepada para tamu yang datang ke rumahnya seperti sirih pinang, rokok, kue-kue basah maupun kue kering hingga minuman teh atau kopi. Para tamu pun dapat membawa pulang hidangan yang disuguhkan tanpa sungkan-sungkan, tentu hal semacam ini tidak dapat kita temui di pulau Jawa dimana hal ini terkesan tidak sopan jika dilihat dari sudut pandang tradisi Jawa.
Video saat pergantian malam tahun baru di Kampung Reni Kepulauan Raja Ampat.
Tidak kalah dengan suasana di perkotaan bukan?.


Gambar 2-4. Suasana saat pergantian Tahun Baru di Kampung Reni setelah menyalakan kembang api yaitu berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain dengan jamuan bermacam-macam tergantung kemampuan si tuan rumah.

            Siang haripun tak kalah meriahnya dengan malam tahun baru. Di kampung Reni ada beberapa blok rumah yang dibagi berdasarkan nama marga. Nah setiap marga telah mempersiapkan diri dengan mendirikan semacam tenda yang cukup besar atau disebut juga sabua  serta wajib menyediakan hidangan jamuan. Saat siang tiba, rombongan satu marga awalnya toki tambur atau melakukan parade seruling tambur dari tendanya menuju ke sabua milik marga lain. Setelah tiba di sabua marga lain, maka rombongan pemukul seruling tambur akan disambut tuan rumah dengan berjabat tangan serta jamuan yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah dirasa cukup dengan jamuan dan sedikit bercengkrama, maka saatnya berganti giliran Toki Tambur, yang sebelumnya menjadi tuan rumah sekarang bergantian melakukan parade seruling tambur menuju tenda marga yang menjadi tamu sebelumnya.
            Esok harinya saya dan rekan RGSB Anggi yang dari awal menemani saya dari Jayapura bertandang hingga ke Pulau Reni Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat pun harus menyudahi petualangan di Reni dan singgah kembali ke Kampung Yenkawir yang berajarak 2 jam perjalanan menggunakan kapal nelayan untuk memastikan kedatangan kapal yang akan ke Sorong agar kami bisa pulang kembali ke Jayapura. Karena akses kapal dari Kepulauan Ayau ke Kota Sorong sangat sulit, maka kami harus pintar-pintar mengatur jadwal dan lobi-lobi ke beberapa warga yang juga ingin ke Kota Sorong. Setelah tiba di Kampung Yenkawir pun kami tidak bisa langsung mendapatkan kepastian kabar kapal. Alhasil hampir selama seminggu kami “terdampar” di Yenkawir tanpa kepastian. Namun hal ini membawa hikmah tersendiri. Dengan waktu seminggu yang kami punya di Yenkawir, kami bisa mengeksplor jengkal demi jengkal kampung Yenkawir serta bisa mengunjungi pulau indah tak berpenghuni yaitu pulau Urbabo.
Gambar 5. Perjalanan kembali ke Kampung Yenkawir dari Pulau Reni

            Pulau Urbabo hanya berajarak 30 menit perjalanan menggunakan kapal nelayan dari kampung Yenkawir. Disana pula saya bisa melihat deretan terumbu karang secara live dengan kedua mata saya sendiri di dalam lautan yang kiranya hanya bisa saya saksikan di layar televisi. Memang selama di Raja Ampat ini saya baru bisa melihat langsung deretan terumbu karang di bawah laut yang begitu luar biasa di sekitar perairan Pulau Urbabo. Namun sayangnya pemandangan terumbu karang tersebut tidak bisa saya dokumentasikan dengan gambar-gambar karena saya tidak memiliki kamera underwater yang bisa digunakan di dalam air. Tetapi dengan bisa melihatnya saja saya sudah merasa sangat senang dan bangga menjadi bangasa Indonesia yang begitu kaya dan indah alamnya.


 Gambar 6. Maaf kami berdiri di atas terumbu karang di sekitar pulau Urbabo karena kami tidak memiliki peralatan snorkling

Gambar 7-9. Suasana kebersamaan di Pulau Urbabo dengan keluarga dari Kepala Kampung Yenkawir.

Gambar 10. Perjalanan kembali ke Kampung Yenkawir dari pulau Urbabo

             Setelah puas bermain-main dan makan ikan bakar hasil dari berburu molo, kami pun pulang ke Yenkawir. Sesampainya di Yenkawir saya dan rekan-rekan RGSB yang lain masih harus dijamu oleh Kepala Kampung di rumahnya. Kami pun bercengkrama dengan kepala kampung beserta keluarganya yang sangat ramah. Sungguh tidak ada kata-kata yang bisa saya lukiskan tentang kebaikan dari masyarakat Kepulauan Ayau. Mereka seolah bukan masyarakat Papua pada umumnya yang saya kenal di pedalaman tempat saya ditugaskan. Masyarakat Ayau sangat agamis walaupun tidak ada tokoh agama yang tinggal disana seperti halnya pendeta. Mereka juga sangat menghormati dan menghargai keberadaan guru di tengah-tengah masyarakat. Jujur saja saya sendiri merasa sangat iri dengan rekan-rekan RGSB yang berasal dari UNJ dimana mereka ditugaskan di Kepulauan Ayau ini. Betapa beruntungnya mereka mempunyai pemandangan alam yang sangat cantik serta seperti memiliki masyarakat yang sangat bersahaja.

Gambar 11. Suasana perjamuan dalam acara penutupan rangkaian perayaan Natal dan Tahun Baru di Kampung Yenkawir

Gambar 12-13. Hari-hari terakhir di Kampung Yenkawir saya habiskan dengan menyusuri seisi kampung dan memancing di pantai bersama warga

            Akhirnya hari dimana saya harus meninggalkan Kepulauan Ayau pun datang juga. Tepatnya keesokan hari setelah berlibur ke pulau Urbabo, saya dan rekan RGSB Anggi beserta anak-anak muda Kampung Yenkawir yang bersekolah dan kuliah di Sorong berangkat menuju kampung Kabare yang berjarak 2,5 jam perjalanan menggunakan kapal speed. Karena memang kapal perintis yang menuju ke Sorong hanya singgah sampai di Kabare bukan di Ayau. Deretan masyarakat di pinggir pantai melepas kepulangan kami dari Yenkawir ketika kapal mulai meninggalkan bibir pantai. Dan saya mulai berkata dalam hati, “Selamat jalan Ayau, terima kasih untuk waktu 2 minggu yang luar biasa ini. Kenangan selama disini akan saya wariskan kepada anak-cucu saya kelak. Dan semoga di kemudian hari kita bisa berjumpa lagi. Amin”.
Gambar 14. Inilah gambar terakhir yang bisa saya ambil di Kepulauan Ayau saat kapal mulai meninggalkan daratan Kampung Yenkawir dengan dilepas oleh beberapa warga serta rekan RGSB Hermawan dan RGSB Bowo.

            Perjalanan ke kampung Kabare begitu menegangkan. Saya pikir perjalanan kesana sama seperti perjalanan dari Yenkawir ke Pulau Reni. Namun prediksi saya meleset jauh. Jika perjalanan kapal di sekitar pulau-pulau di Kepulauan Ayau rata-rata hanya melalui perairan dangkal dan sebentar saja di tengah lautan dalam, beda halnya perjalanan dari Yenkawir ke Kabare yang harus mengarungi lautan dalam selama kurang lebih 2,5 jam. Perjalanan di tengah lautan dalam dengan kapal kecil semacam ini berhasil merontokan nyali saya. Karena selama perjalanan saya hanya melihat lautan biru dengan gelombang yang sangat tinggi bahkan lebih tinggi dari posisi kapal. Sepanjang perjalanan pun seperti diguyur hujan deras padahal saat itu matahari bersinar sangat terik. Alhasil setibanya di Kabare kami semua basah kuyub namun beruntung kamera yang saya pegang tidak rusak karena telah dibungkus plastik sebelumnya namun berhasil merusak handphone milik rekan RGSB Anggi karena mengalami konslet.
            Kami tiba di Kampung Kabare sekitar pukul 15:45 WIT dan kapal perintis Ave Maria baru tiba esok subuh. Otomatis kami harus menginap semalam di Kabare. Jika para pemuda dari Yenkawir memilih untuk mendirikan tenda di pinggir pantai, namun saya dan rekan RGSB Anggi beserta ibu dan anak-anak dipersilahkan menginap di salah satu rumah nenek tua yang hidup sendirian di sekitar pantai. Selidik punya selidik, ternyata nenek itu keturunan dari Pulau Rutum, Kepulauan Ayau dimana saya ketahui dari nama marganya yaitu Mayor yang tidak lain merupakan salah satu marga di Pulau Rutum. Anak-anaknya sudah menikah dan merantau di Waisai dan Sorong. Jujur saja saya merasa iba melihat seorang nenek tua yang harus hidup sendiri di bibir pantai tanpa sanak saudara. Seketika itu saya langsung terngiang almh. ibu saya yang telah meninggalkan saya tahun lalu. Tentu jika ibu saya masih hidup tak akan saya biarkan tinggal sendirian di rumah seperti itu.
Gambar 15. Salah satu Masjid yang berada di Kabare.

            Saat malam tiba, saya dan rekan RGSB Anggi memutuskan untuk masuk ke dalam kampung Kabare beserta beberapa anak muda dari Yenkawir. Begitu masuk ke kampung, kami disambut bangunan Masjid yang kiranya berukuran sangat kecil untuk ukuran sebuah masjid pada umumnya. Ternyata disini pendatang sudah mulai tinggal menetap maka dari itu dibangun masjid untuk para pendatang yang beragama Islam. Saya dan rekan RGSB Anggi pun tak menyiakan-nyiakan kesempatan untuk “numpang” Sholat di Masjid Kabare. Setelah selesai Sholat, kami melanjutkan kembali perjalanan masuk ke kampung Kabare. Ternyata saya baru menyadari bahwa di setiap rumah terdapat meteran listrik dari PLN. Maka dari itu banyak diantara kios-kios yang tertempel tulisan “Jual Pulsa Listrik”. Namun listrik menyala pada malam hari saja dimana menggunakan sumber daya mesin diesel yang berada dekat pantai. Setelah berjalan kurang lebih selama 10 menit, kami singgah di sebuah rumah milik mseorang mantri yang masih terikat hubungan keluarga dengan kepala kampung Yenkawir. Disana kami menonton televisi sejenak melihat berita terbaru dari tanah jawa karena selama di Ayau nyaris saya tidak pernah menonton televisi. Tidak lama berselang saya mendengar suara parade seruling tambur yang lewat di samping rumah dan seolah tidak ingin kehilangan momen tersebut, saya langsung beranjak keluar rumah. Di depan rumah pun telah ada beberapa warga yang sedang menyaksikan parade seruling tambur tersebut. Dan dari informasi warga pula saya mengetahui bahwa kampung Kabare sedang merayakan acara penutupan rangkaian perayaan Natal dan Tahun Baru dimana kampung Yenkawir telah mendahului di tanggal 5 Januari lalu. Dan saya mendengar kabar pula bahwa acara penutupan rangkaian perayaan Natal dan Tahun baru ini terdapat sesi makan bersama dan telah menjadi tradisi di Raja Ampat jika ada acara besar maka akan ada hidangan khusus yaitu masakan daging tete ruga  atau dengan nama umum yaitu Penyu. Ya inilah salah satu kelemahan dari masyarakat Raja Ampat yang masih memburu Penyu untuk acara-acara adat. Penyu yang diburu juga biasanya berupa Penyu Hijau yang tentu sudah terancam punah. Saya pun tidak tahu apakah pemerintah seakan menutup mata akan kebiasaan masyarakat ini atau mereka benar-benar tidak tahu. Hanya mereka dan Tuhan-lah yang tahu.
            Rasa kantuk tidak bisa dihindari lagi, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke rumah nenek yang berada di tepi pantai yang kami gunakan untuk tempat singgah sementara hingga esok pagi. Pagi-pagi benar kami sudah dibangunkan karena ternyata kapal sudah menjatuhkan jangkarnya di perairan Kabare. Dan tanpa basa-basi pun kami langsung naik perahu kecil yang kemarin kami tumpangi untuk menuju ke kapal perintis Ave Maria yang berada di tengah laut. Kapal Ave Maria sebenarnya masih lama bersandar di Kabare, namun karena takut tidak kebagian tempat tidur maka tidak lama kapal tiba kami harus langsung naik untuk membooking beberapa tempat tidur untuk  beberapa orang yang bersama kami beserta barang-barangnya. Setelah menunggu hingga pukul 10:30 WIT, akhirnya kapal menarik jangkarnya dan berlayar ke Kota Sorong. Perjalanan kali ini akan ditempuh selama 6 jam. Tentu sangat cepat jika dibandingkan dengan kapal yang saya naiki saat berangkat ke Ayau yang memakan waktu hingga 30 jam. Selain harga tiket yang lebih mahal yaitu Rp. 200.000 dibandingkan kapal Bintang 23 yang hanya Rp. 70.000, jenis kapal yang kami naiki ini juga jauh lebih bagus dengan failitas yang lebih lengkap pula.
Gambar 16. Suasana di dalam dek Kapal Ave Maria

            Setelah mengarungi lautan kurang lebih selama 6 jam, akhirnya kapal bersandar di Pelabuhan Rakyat Sorong. Dan sesuai dengan rencana, saya dan rekan RGSB Anggi akan dijemput oleh suami dari Ibu Oka yaitu Kepala Sekolah SD YPK Meosbekwan yang merupakan tempat tugas dari rekan RGSB Hary Prabowo. Setelah menunggu cukup lama di dalam kapal menunggu orang-orang keluar terlebih dahulu, akhirnya kami dijemput dan diantarkan ke rumah Ibu Oka yang berjarak lumayan jauh dari pelabuhan. Setelah beristirahat sejenak dan membersihkan diri, saya dan Anggi bermusyawarah tentang rencana pulang kembali ke Jayapura. Karena transportasi kapal laut akan hanya ada esok hari jam 9 pagi dan untuk jadwal selanjutnya belum diketahui kepastiannya. Sedangkan jika menggunakan pesawat tinggal menyesuaikan jadwal dan sisa tiket saja namun kelemahannya adalah harga tiket pesawat yang bisa 4 kali lipat dari harga tiket kapal laut. Akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan mode transportasi udara karena mengingat kondisi fisik kami yang belum terlalu fit untuk langsung melanjutkan perjalanan dan juga kami belum sempat bertemu dengan Pastor Willi yang merupakan pelindung kami ketika baru tiba di tempat tugas Ubrub, Distrik Web yang sekarang telah pindah tugas di Kota Sorong. Akhirnya malam itu juga saya dan Bapak Oka berkeliling Kota Sorong untuk mencari info tiket pesawat yang sekiranya pas dengan jadwal serta tidak terlalu berat di dompet. Setelah mengetahui jadwal dan harga tiket pesawat, esok paginya saya, rekan RGSB Anggi, beserta Bapak Oka pergi ke agen tiket untuk membeli dua tiket untuk saya dan Anggi. Kami memutuskan untuk menggunakan maskapai penerbangan Xpress Air dengan jadwal penerbangan pada hari Minggu tanggal 11 Januari 2015 dan take off pada pukul 07:20 WIT. Setelah beres dengan tiket pulang, kami pulang ke rumah dan makan siang. Setelah santap siang, kami diajak Pak Oka untuk berkeliling Kota Sorong dan daerah di sekitarnya. Tanpa basa-basi pun kami langsung tancap gas berkeliling Sorong dengan menggunakan motor. Jalanan di Kota Sorong terlihat lebih mudah dihapalkan karena jalannya rata dan menggunakan istilah kelipatan Km bukan dengan nama daerahnya. Dan kami juga sempat mengunjungi daerah transmigrasi di Distrik Aimas Kabupaten Sorong. Terlihat disana banyak sekali pendatang dan saya merasa pulang ke Jawa karena suasana dan tata letak rumah dan ladangnya mirip dengan daerah dari desa nenek saya. Dan setelah dirasa cukup, akhirnya kami kembali pulang ke rumah Ibu Oka di  daerah Malanu, Kota Sorong karena malamnya saya dan rekan RGSB Anggi telah membuat janji dengan Pater Willi untuk bertemu. Dan singkat cerita, pada pukul 22:00 WIT saya dan rekan RGSB Anggi dijemput Pater Willi dengan menggunakan mobil untuk menuju ke Biara tempat tinggal sekaligus tempat tugas Pater Willi selama di Sorong. Kami pun langsung terlibat percakapan nan menarik terutama tentang kondisi Ubrub saat ini semenjak kepergian Pater Willi. Dan tepat tengah malam akhirnya kami harus berpisah karena besok pagi saya dan rekan RGSB Anggi harus sudah tiba di bandara untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Jayapura.

Gambar 17. Gambar yang saya ambil ketika berkeliling ke Kabupaten Sorong

Gambar 18. Keluarga dari Ibu Oka berfoto bersama saya (bertopi) sesaat sebelum berangkat ke Bandara

            Pagi hari pukul 05:00 tanggal 11 Januari 2015, saya telah bangun dari tidur singkat semalam untuk bersiap diri untuk melakukan perjalanan jauh kembali ke Jayapura setelah 3 minggu berkelana di Sorong dan Raja Ampat. Pukul 06:30 WIT, saya dan rekan RGSB Anggi telah tiba di Bandara Domine Eduard Osok, Kota Sorong dengan diantar oleh Pak Oka dan Saudara dari Ibu Oka. Sungguh saya tidak akan melupakan kebaikan dari keluarga Ibu Oka yang telah mau merawat kami sepulang dari Raja Ampat. Tidak lama langsung saya melakukan check-in dan menunggu boarding yang terjadwal pada pukul 07:20 WIT dengan nomor penerbangan XN-812. Pesawat yang saya tumpangi ini tidak langsung terbang menuju Jayapura melainkan harus transit terlebih dahulu di Manokwari hingga sore hari dan melanjutkan kembali perjalanan ke Jayapura. Menurut jadwal, pesawat ini akan tiba di Bandara Rendani Manokwari pada pukul 08:30 WIT.
Gambar 19. Tiket pesawat yang saya beli di salah satu agen di Kota Sorong

            Perjalanan naik pesawat pertama kalinya dengan uang hasil keringat sendiri pun terasa sangat spesial bagi saya. Walaupun harga tiket yang harus saya bayar bukan termasuk harga yang murah, namun hal ini cukup membuat saya merasa bangga bahwa dengan uang sendiri saya bisa naik pesawat yang mungkin dahulu hanya angan-angan saja. Penerbangan ke Manokwari pun terasa singkat dan tidak terasa pesawat sudah landing di Bandara Rendani. Saya dan rekan RGSB Anggi langsung masuk ke ruang tunggu penumpang transit guna menunggu penerbangan selanjutnya ke Jayapura pada pukul 15:10 WIT. Iya memang kami harus menunggu selama 6 jam di bandara. Tentu menunggu bukan hal yang saya suka dan jeda selama 6 jam akan terasa sangat lama. Namun sekitar jam 2 siang, mendadak langit menjadi gelap dan hujan besar pun langsung mengguyur Bandara Rendani dan wilayah di sekitarnya. Hujan kali ini turun dengan sangat deras dan berlangsung lama hingga jam setengah 4 sore hujan baru reda.
Gamabr 20. Sesaat setelah saya dan rekan RGSB Anggo mendarat di Bandara Rendani Manokwari

            Awalnya penerbangan ditunda 1 jam menjadi pukul 16:00 WIT yang seharusnya pukul  15:10 WIT. Alhasil akan semakin lama kami menunggu kedatangan pesawat. Pukul 16:00 WIT pun telah lewat, namun belum ada kepastian dari pihak maskapai penerbangan. Saya pun mulai cemas dengan nasib kami disini, di Manokwari. Karena disini kami tidak mempunyai kenalan siapa pun jika nantinya pesawat akan di-cancel. Tak lama berselang penerbangan ditunda kembali satu jam sehingga rencana pesawat akan berangkat pukul 17:00 WIT. Namun cuaca di sekitar Bandara Rendani Manokwari kiranya tidak mendukung untuk penerbangan lebih lanjut. Dan pada akhirnya pesawat dengan nomor penerbangan XN-800 yang akan kami tumpangi dibatalkan pemberangkatannya dan pesawat akan berangkat kembali esok pagi. Dan seluruh penumpang diharapkan menuju loket check-in guna mengambil barang bagasi. Dan saat saya mulai mendekat ke loket dan menunjukkan tiket, petugas loket tersebut mengatakan bahwa penumpang transit akan diinapkan satu malam di penginapan. Ah, lega sekali rasanya mendengar penjelasan dari petugas tersebut. Saya yang sebelumnya bingung sekarang mendadak menjadi senang sekali karena bisa bermalam di Manokwari dengan difasilitasi pihak maskapai penerbangan. Ditambah lagi bahwa esok harinya tanggal 12 Januari merupakan hari ulang tahun saya yang ke-22 dan secara kebetulan juga berbarengan dengan Hari Jadi Pertamina Foundation yang ke-4. Tidak terbayang sebelumnya saya bisa merayakan ulang tahun di kota yang baru saja saya kunjungi.


            Mobil model minibus yang bertuliskan Xpress Air segera bergegas meninggalkan Bandara Rendani untuk mengantarkan 5 orang penumpang transit termasuk saya dan Anggi yang akan ke Jayapura menuju Hotel Fujita dimana kami akan bermalam. Penumpang pun dibagi menjadi 3 kamar dimana per kamar akan diisi 2 orang. Dan tentu saja saya dan Anggi memilih untuk satu kamar. Setelah didata di ­resepsionis, kunci pintu kamar hotel telah saya ambil alih. Dan begitu membuka kamar hotel, saya senang bukan main karena kamar tempat kami akan bermalam termasuk kategori yang cukup bagus dengan fasilitas lengkap seperti pendingin udara, televisi layar datar, serta kamar mandi yang dilengkapi air panas. Sungguh tidak bisa saya bayangkan akan begitu menyenangkan perjalanan pulang ke Jayapura ini yang tentu berbanding terbalik dengan cerita saat kami berangkat ke Sorong hingga Raja Ampat.

Gambar 21. Kamar hotel yang kami dapatkan selama menginap satu malam di Manokwari

            Pukul 06:00 WIT mobil jemputan sudah terparkir di depan Hotel Fujita dan tidak lama berselang segera mengantarkan kami kembali ke Bandara Rendani Manokwari. Penerbangan yang seharusnya pukul 08:00 WIT harus diundur menjadi pukul 10:00 WIT karena tidak mendapat ijin dari pihak Dinas Perhubungan Udara. Sehingga kami harus sedikit bersabar menanti pesawat. Namun karena fasilitas di ruang tunggu Bandara Rendani cukup lengkap maka selang waktu tersebut tidak terlalu terasa. Pukul 09:50 WIT kami sudah berada di dalam pesawat untuk siap lepas landas terbang menuju Bandara Sentani Jayapura. Dan sesuai aturan penerbangan sebelum pesawat lepas landas, petugas Pramugari/a harus memperagakan aturan di dalam peswat beserta barang-barang keselamatan penumpang jika terjadi situasi emergency. Saat itu rasa iseng saya muncul, saat Pramugari yang berada di depan saya sedang memperagakan aturan penerbangan yang selayaknya dilakukan oleh seorang pramugari sebelum take off, saya secara terang-terangan merekam pramugari tersebut dengan kamera dan sontak pramugari tersebut tidak sampai tuntas memperagakan sudah bergerak ke arah saya lalu menyuruh saya untuk mematikan kamera. Ia juga sempat berkata untuk menghapus video yang baru saja saya rekam tadi.

Dan akhirnya setelah terbang melintasi langit Papua selama 1,5 jam, pesawat dengan nomor penerbangan XN-800 yang kami tumpangi mendarat dengan selamat di Bandara Sentani Jayapura.
Sesaat setelah Pesawat landing di Bandara Sentani Jayapura

              Demikian cerita pengalaman saya dan rekan RGSB Anggi melanglangbuana dari Jayapura hingga ke Kepulauan terluar dan terindah di Indonesia yaitu Kepulauan Ayau Raja Ampat. Semoga pengalaman ini mampu menginspirasi para netizen yang membaca cerita ini. Dan saya pribadi mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru bagi sahabat-sahabat baru saya yang berada di timur Indonesia. Saya tetap berdoa agar kita bisa berjumpa kembali suatu hari nanti.