Kamis, 12 November 2015

The Most Wanted Place on Indonesia - Part 1


               Di kisah sebelumnya saya menjelaskan akan menceritakan kisah mengunjungi salah satu tempat paling "diburu" di Indonesia (The most wanted place on Indonesia). Awal kisahnya adalah saya dan rekan RGSB Anggi yang tengah menikmati liburan dengan turun ke kota Jayapura. Namun hanya 3 hari saja kami di Kota Jayapura, karena kami telah berencana dan berkoordinasi dengan rekan RGSB Wahyudin yang bertugas di Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat untuk bertemu dan mengunjungi Raja Ampat. Yaps betul, RAJA AMPAT.
               Kami telah membeli tiket kapal PELNI yaitu KM Labobar seharga Rp 405.000,-/orang untuk menuju Kota Sorong pada tanggal 17 Desember 2014. Rencananya kami akan berkunjung ke Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat yang merupakan tempat tugas rekan-rekan RGSB yang berasal dari UNJ. Mereka pun telah menunggu kedatangan kami di Kota Sorong karena kebetulan mereka sedang berada disana untuk keperluan Penyusunan Laporan Bulanan serta agar bisa bersama-sama menuju Kepulauan Ayau, Raja Ampat karena mengingat akses kesana yang cukup sulit menurut mereka. Niat kami pergi ke Raja Ampat selain untuk mengisi waktu liburan, kami juga ingin mengetahui perbedaan masyarakat pedalaman Papua dengan masyarakat pantai serta saling berbagi pengalaman dan metode pembelajaran yang kiranya bisa berguna di semester kedua nanti.

Gambar 1. KM. Labobar yang akan mengantarkan saya dan rekan RGSB Anggi dari Jayapura menuju Kota Sorong.

            Tanggal 17 Desember 2014 jam 8 malam waktu Papua, kapal PELNI KM Labobar yang saya dan rekan RGSB Anggi tumpangi akhirnya angkat jangkar dari Pelabuhan Jayapura untuk segera mengarungi derasnya ombak lautan utra Papua. Kami berdua tidak kebagian tempat tidur di dalam dek kapal yang sudah penuh sesak oleh para pemudik yang akan pulang ke kampung halamannya masing-masing dalam rangka menyambut Hari Raya Natal. Berbeda dengan di Pulau Jawa yang heboh dengan fenomena mudik jika akan Hari Raya Idul Fitri karena mayoritas penduduknya yang beragama Islam, maka di Papua fenomena pulang kampung terjadi menjelang hari raya Natal karena mayoritas penduduknya yang beragama Nasrani dan Protestan. Transportasi Laut yang murah pun masih menjadi primadona di tanah Papua karena belum tersedianya akses jalan darat yang baik dan memadai yang menghubungkan satu kota dengan kota yang lainnya. Dan bisa ditebak kapal yang kami berdua naiki penuh sesak dengan penumpang karena jadwal kapal dari Jayapura hanya ada sekitar 2 kali dalam seminggu. Alhasil kami berdua terpaksa bermalam di dek 7 bagian luar bagaikan tidur di emperan toko dengan hanya beralaskan tikar yang terbuat dari karung beras dan semen yang kami beli di pedagang asongan serta beratapkan sekoci yang digantung di dek 8.

Gambar 2. Pojokan Dek 7 KM. Labobar yang kami gunakan untuk sekedar beristirahat selama perjalanan

            Perjalanan yang akan kami tempuh ke Kota Sorong dengan KM Labobar memakan waktu selama 2 hari 3 malam. Jujur, ini merupakan pengalaman pertama saya naik kapal besar selama berhari-hari. Suka-duka pengalaman pun saya alami selama perjalanan dengan kapal di lautan. Saya bisa bertemu dengan berbagai orang dengan berbagai latar belakang dan asal daerah serta berbagi pengalaman satu sama lain, kehujanan di kapal yang sulit diprediksi cuacanya, dan terakhir bisa melihat kota-kota lain di Papua selama perjalanan antara lain Serui, Nabire, Wasior, dan Manokwari. Namun pengalaman yang paling berkesan selama di atas kapal adalah bertemu dua orang backpacker asal negara Singapura yang naik dari Manokwari menuju ke Kota Sorong. Mereka berdua merupakan suami istri yang berbeda kewarganegaraan, dimana si pria adalah orang Belgia dan istrinya merupakan orang Indonesia tepatnya berasl dari Kota Bandung namun mereka tinggal di Singapura karena pekerjaan. Saya sangat terkejut ketika mengetahui bahwa mereka telah berkunjung ke banyak tempat di Indonesia dari ujung barat hingga timur Indonesia dan uniknya mereka selalu mencari budget yang termurah yang bisa didapat jika berkunjung ke suatu tempat ala seorang backpacker sejati walaupun sebenarnya mereka mempunyai uang yang tidak sedikit. Jujur saja saya sebagai warga Indonesia yang telah lama tinggal di Indonesia sangat malu ketika warga negara asing lebih banyak mengetahui daerah-daerah di Indonesia dibandingkan dengan pengalaman saya yang mungkin hanya sepucuk kuku.

 Gambar 3. Pesisir Pulau Serui jika dilihat dari atas kapal

Gambar 4. Kota beratapkan awan, Wasior

            Setelah melewati perjalanan panjang selama 3 malam 2 hari, akhirnya pagi hari tanggal 20 Desember 2014 kami tiba di Pelabuhan Sorong. Kami pun sudah tidak sabar lagi untuk bertemu kawan-kawan RGSB lainnya yang bersal dari UNJ. Setelah menunggu sekitar 10 menit di Pelabuhan, akhirnya kami dijemput oleh rekan RGSB Wahyudin dan Hermawan. Kami berempat naik angkot untuk menuju ke tempat tinggal sementara rekan-rekan RGSB dari UNJ selama mereka berada di Sorong. Di kontrakan sudah menunggu dua rekan RGSB lainnya yaitu Agus dan Bowo. Seketika itu juga kami berenam pun langsung terlibat percakapan yang cukup menarik tentang pengalaman masing-masing selama masa tugas. Walaupun kami baru dipertemukan ketika pembekalan di Jakarta sebelum berangkat ke Papua dan berlanjut pembekalan di RINDAM XVII Jayapura, namun kebersamaan yang terjalin sudah cukup kuat untuk menjadikan kami lebih dari sekedar teman biasa.
Gambar 5. Para RGSB (Relawan Guru Sobat Bumi) yang berasal dari UNJ

            Selama di Sorong kami mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menuju ke Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat. Sebenarnya kapal yang menuju ke Ayau sore hari setelah saya tiba di Sorong berangkat ke Ayau, namun karena melihat kondisi saya dan rekan RGSB Anggi yang belum fit setelah perjalanan jauh serta rekan-rekan RGSB dari UNJ yang belum mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa ke tempat tugas, akhirnya keberangkatan ke Ayau pun ditunda hingga menunggu kapal yang selanjutnya. Selama menunggu kepastian kabar kapal, selain mempersiapkan barang-barang juga kami berenam (Saya, Anggi, Wahyudin, Hermawan, Bang Agus, dan Bowo) saling berbagi pengalaman serta metode pengajaran selama berada di tempat tugas masing-masing. Tujuannya adalah untuk memperkaya materi pengajaran serta memecahkan masalah pembelajaran yang dihadapi selama mengajar di tempat tugas. Tidak lupa juga kami mengeksplor Kota Sorong dari sudut ke sudut. Menurut pengamatan saya selama mengeksplor kota Sorong, di Sorong jumlah penduduk non-Papua lebih banyak daripada di Kota Jayapura. Karena di jalanan Kota Sorong, saya hanya sedikit melihat masyarakat asli Papua jika dibandingkan dengan jalanan Kota Jayapura yang masih sering menemui masyarakat asli Papua. Tidak hanya itu, biaya hidup di Kota Sorong pun lebih murah jika dibandingkan dengan biaya hidup di Kota Jayapura. Saya ibaratkan biaya hidup di Sorong itu seperti biaya hidup di Jakarta yang kiranya masih masuk di akal.
            Waktu yang ditunggu pun akhirnya tiba, tanggal 24 Desember pukul 24:00 WIT tepatnya saat malam Natal, saya dan 5 rekan RGSB lainnya berangkat menuju ke Kepulauan Ayau Kabupaten Raja Ampat menggunakan Kapal Bintang 23 dengan harga tiket Rp 70.000,-/orang dengan estimasi waktu perjalanan 1 hari 1 malam. Kapal yang kami tumpangi ini sebenarnya merupakan kapal barang yang mengangkut beras Bulog untuk masyarakat Ayau maka dari itu harga tiketnya sangat murah dan juga memerlukan waktu perjalanan panjang. Padahal jika menggunakan kapal cepat, hanya membutuhkan waktu kurang lebih selama 10 jam saja untuk sampai di Ayau. Namun karena kapal cepat yang ke Ayau telah berangkat pada tanggal 20 Desember lalu, maka terpaksa kami naik kapal ini. Karena memang kendala terbesar masyarakat Ayau ketika akan berpergian adalah pada sarana transportasi yang sulit.

Gambar 6. Suasana Kapal Bintang 23
Gambar 7. Salah satu ikonik yang terletak di sekitar Pelabuhan Waisai

            Tanggal 25 Desember 2014 pagi hari kapal singgah di Pelabuhan Waisai, Raja Ampat. Waisai sendiri merupakan ibukota Kabupaten Raja Ampat. Saya pun tidak mau melewatkan pengalaman untuk menginjakkan kaki di Waisai walaupun hanya di sekitar pelabuhannya saja. Namun saya sudah begitu takjub dengan alam Raja Ampat. Bagaimana tidak takjub, perairan di sekitar Pelabuhan Waisai saja sudah sangat jernih dan terdapat karang-karang kecil yang bisa dilihat dari atas dermaga. Saya pun sudah tidak sabar lagi untuk melihat alam Raja Ampat yang sebenarnya yaitu di Kepulauan Ayau. Setelah transit sekitar setengah jam di Waisai, kapal pun kembali melanjutkan perjalanan. Sekitar pukul 20:00 WIT, kapal singgah kembali yaitu di Kabare. Sebenarnya Kabare dan Waisai masih dalam satu pulau, namun perjalanan dari Waisai ke Kabare tidak bisa menggunakan jalur darat karena belum ada jalan yang menghubungkan dua daerah tersebut karena harus membelah perbukitan yang tidak sedikit. Dan akhirnya tepat saat matahari terbit di tanggal 26 Desember 2014, kapal menjatuhkan jangkar di perairan pulau Dorekhar. Ya betul perairan, karena laut di sekitar pantai yang dangkal, jadi kapal yang berukuran agak besar tidak bisa berlabuh di pinggir pantai. Untuk itu penumpang harus berganti kapal ke kapal yang lebih kecil untuk bisa mencapai daratan. Kami pun akhirnya dijemput oleh Kepala Kampung Yenkawir yang merupakan kepala kampung di tempat tugas rekan RGSB Hermawan. Setelah memindahkan barang-barang ke kapal kecil milik kepala kampung akhirnya kami berenam meluncur ke daratan Kampung Yenkawir.

Gambar 8. Suasana loading barang dari Kapal Bintang 23 ke kapal yang lebih kecil (kapal speed)


Ada rasa yang tak biasa ketika pertama kali menginjakkan kaki di kapal kecil dan akhirnya menaikinya. Saya yang notabene tinggal di pesisir Jawa baru pertama kali naik kapal nelayan sekecil ini. Rasa takut yang tak terkira pun saya rasakan ketika kapal sedikit oleng karena ombak. Dan setelah melewati perjalanan yang menegangkan tadi pun akhirnya kaki saya bisa menginjak daratan pulau Dorekhar tepatnya di Kampung Yenkawir. Setelah membereskan barang-barang dari kapal menuju rumah guru yang merupakan tempat tinggal rekan RGSB Hermawan, saya langsung menuju dermaga kampung Yenkawir. Rasa takjub pun tidak bisa saya pungkiri melihat kekayaan alam Raja Ampat. Pemandangan laut biru beserta pulau-pulaunya serta gerombolan ikan-ikan kecil yang sangat banyak berenang-renang di bawah dermaga Yenkawir menambah rasa takjub saya. Saya pun langsung mengambil kamera seakan-akan tidak mau ketinggalan moment pemandangan yang indah di sekitar dermaga. Rekan RGSB Anggi pun tidak mau kalah, ia langsung membeli benang nilon dan mata kail untuk memancing di dermaga. Dan benar saja, tidak lama setelah ia beberapa kali mencoba melempar kail, akhirnya ia mendapatkan ikan yang cukup besar bagi ukuran saya yang biasa melihat ikan-ikan sungai di Ubrub.

Gambar 9. Dermaga Kampung Yenkawir Kepulauan Ayau, Kab. Raja Ampat. Begitu indah bukan?

            Esok harinya kami berenam berangkat berjalan kaki ke kampung Dorekhar yang merupakan tempat tugas rekan RGSB Beni dimana hari itu juga bertepatan dengan perayaan Natal Bersama se-Ayau. Jadi pada hari itu semua kampung yang ada di Kepulauan Ayau berkumpul di satu tempat untuk melakukan perayaan diantaranya yaitu parade “toki tambur” keliling kampung. Toki Tambur merupakan kesenian musik khas Raja Ampat dimana alat musik yang dimainkan yaitu Tambur yang berbentuk seperti tifa namun jauh lebih besar serta dimainkan dengan cara dipukul menggunakan kayu. Tidak lupa seruling khas Raja Ampat pun menjadi bagian di dalamnya sehingga parade tersebut juga disebut “Seruling Tambur”. Tahun ini yang menjadi tuan rumah adalah kampung Dorekhar dimana rekan RGSB Beni ditugaskan. Untuk bisa mencapai kampung Dorekhar dari kampung Yenkawir harus berjalan kaki kurang lebih selama satu jam atau bisa juga menggunakan kapal dengan lama perjalanan sekitar 15 menit.

Gambar 10. Masyarakat kampung Yenkawir saat berlatih "Seruling Tambur"

Gambar 11. Teluk Qui di Kampung Dorekhar Kepulauan Ayau.
"So beautiful place, right?"

            Selama perayaan Natal Bersama se-Ayau di Dorekhar, saya lebih banyak mengenal kehidupan masyarakat Raja Ampat melalui cerita-cerita dari rekan RGSB ataupun langsung dari berbincang-bincang bersama masyarakat. Sungguh bukan hanya alamnya saja yang indah, ternyata Raja Ampat juga menyimpan kearifan lokal masyarakat yang jauh dari bayangan saya mengenai masyarakat Papua. Selama sehari semalam pun masyarakat larut dalam keceriaan hingga pada akhirya hari Minggu tanggal 28 Desember 2014 setelah selesai ibadah, masyarakat kembali ke kampungnya masing-masing. Dan sesuai rencana saya dan rekan RGSB Anggi ikut kapal masyarakat kampung Reni untuk berkunjung ke tempat tugas rekan RGSB Wahyudin di pulau Reni yang berjarak 2 jam perjalanan menggunakan kapal dari Dorekhar.

Gambar 12.  Saat pesiar (jalan-jalan) ke Pulau Rutum bersama keluarga kecil kepala sekolah SD Inpres 13 Reni

            Kami pun tiba di pulau Reni sekitar pukul 14:00 WIT dan bermalam di rumah guru tempat tinggal rekan RGSB Wahyudin dan Kepala Sekolah SD Inpres 13 Reni. Selama di Reni saya mendapat pengalaman yang lebih banyak serta bisa lebih dekat dengan masyarakat Kepulauan Ayau yang sangat baik. Selain mengeksplor pulau Reni, saya juga berkunjung ke Pulau Rutum yang merupakan tempat tugas rekan RGSB Agus. Dan dari keseluruhan tempat yang saya kunjungi, tidak ada satu tempat pun di Ayau yang tidak indah. Semua di Ayau merupakan tempat paling indah yang pernah saya kunjungi. Pasir putih, laut biru tosca, keanekaragaman flora dan fauna laut yang tidak ada bandingannya dengan laut Jawa. Hingga akhir tahun saya berada di Reni karena berencana merayakan Tahun Baru 2015 disana.
               Ingin tahu cerita saya dan teman-teman RGSB lain selama di Kepulauan Ayau Raja Ampat? tunggu kisah selanjutnya. "To be continue......"

 Desember, 2014
Ayau, Kabupaten Raja Ampat





BAGUS DWI MINARNO