Di kisah sebelumnya saya menjelaskan akan menceritakan kisah mengunjungi salah satu tempat paling "diburu" di Indonesia (The most wanted place on Indonesia). Awal kisahnya adalah saya dan rekan RGSB Anggi yang tengah menikmati liburan dengan turun ke kota Jayapura. Namun hanya 3 hari saja kami di Kota Jayapura, karena kami telah berencana dan berkoordinasi dengan rekan
RGSB Wahyudin yang bertugas di Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat untuk
bertemu dan mengunjungi Raja Ampat. Yaps betul, RAJA AMPAT.
Kami telah membeli tiket kapal PELNI yaitu
KM Labobar seharga Rp 405.000,-/orang untuk menuju Kota Sorong pada tanggal 17
Desember 2014. Rencananya kami akan berkunjung ke Kepulauan Ayau, Kabupaten
Raja Ampat yang merupakan tempat tugas rekan-rekan RGSB yang berasal dari UNJ.
Mereka pun telah menunggu kedatangan kami di Kota Sorong karena kebetulan
mereka sedang berada disana untuk keperluan Penyusunan Laporan Bulanan serta
agar bisa bersama-sama menuju Kepulauan Ayau, Raja Ampat karena mengingat akses
kesana yang cukup sulit menurut mereka. Niat kami pergi ke Raja Ampat selain
untuk mengisi waktu liburan, kami juga ingin mengetahui perbedaan masyarakat
pedalaman Papua dengan masyarakat pantai serta saling berbagi pengalaman dan
metode pembelajaran yang kiranya bisa berguna di semester kedua nanti.
Gambar 1. KM. Labobar yang akan mengantarkan saya dan rekan RGSB Anggi dari Jayapura menuju Kota Sorong.
Tanggal
17 Desember 2014 jam 8 malam waktu Papua, kapal PELNI KM Labobar yang saya dan
rekan RGSB Anggi tumpangi akhirnya angkat jangkar dari Pelabuhan Jayapura untuk
segera mengarungi derasnya ombak lautan utra Papua. Kami berdua tidak kebagian
tempat tidur di dalam dek kapal yang sudah penuh sesak oleh para pemudik yang
akan pulang ke kampung halamannya masing-masing dalam rangka menyambut Hari
Raya Natal. Berbeda dengan di Pulau Jawa yang heboh dengan fenomena mudik jika
akan Hari Raya Idul Fitri karena mayoritas penduduknya yang beragama Islam,
maka di Papua fenomena pulang kampung terjadi menjelang hari raya Natal karena
mayoritas penduduknya yang beragama Nasrani dan Protestan. Transportasi Laut
yang murah pun masih menjadi primadona di tanah Papua karena belum tersedianya
akses jalan darat yang baik dan memadai yang menghubungkan satu kota dengan
kota yang lainnya. Dan bisa ditebak kapal yang kami berdua naiki penuh sesak
dengan penumpang karena jadwal kapal dari Jayapura hanya ada sekitar 2 kali
dalam seminggu. Alhasil kami berdua terpaksa bermalam di dek 7 bagian luar
bagaikan tidur di emperan toko dengan hanya beralaskan tikar yang terbuat dari
karung beras dan semen yang kami beli di pedagang asongan serta beratapkan
sekoci yang digantung di dek 8.
Gambar 2. Pojokan Dek 7 KM. Labobar yang kami gunakan untuk sekedar beristirahat selama perjalanan
Perjalanan
yang akan kami tempuh ke Kota Sorong dengan KM Labobar memakan waktu selama 2
hari 3 malam. Jujur, ini merupakan pengalaman pertama saya naik kapal besar
selama berhari-hari. Suka-duka pengalaman pun saya alami selama perjalanan
dengan kapal di lautan. Saya bisa bertemu dengan berbagai orang dengan berbagai
latar belakang dan asal daerah serta berbagi pengalaman satu sama lain,
kehujanan di kapal yang sulit diprediksi cuacanya, dan terakhir bisa melihat
kota-kota lain di Papua selama perjalanan antara lain Serui, Nabire, Wasior,
dan Manokwari. Namun pengalaman yang paling berkesan selama di atas kapal adalah
bertemu dua orang backpacker asal negara
Singapura yang naik dari Manokwari menuju ke Kota Sorong. Mereka berdua
merupakan suami istri yang berbeda kewarganegaraan, dimana si pria adalah orang
Belgia dan istrinya merupakan orang Indonesia tepatnya berasl dari Kota Bandung
namun mereka tinggal di Singapura karena pekerjaan. Saya sangat terkejut ketika
mengetahui bahwa mereka telah berkunjung ke banyak tempat di Indonesia dari
ujung barat hingga timur Indonesia dan uniknya mereka selalu mencari budget yang termurah yang bisa didapat
jika berkunjung ke suatu tempat ala seorang backpacker
sejati walaupun sebenarnya mereka mempunyai uang yang tidak sedikit. Jujur saja
saya sebagai warga Indonesia yang telah lama tinggal di Indonesia sangat malu
ketika warga negara asing lebih banyak mengetahui daerah-daerah di Indonesia
dibandingkan dengan pengalaman saya yang mungkin hanya sepucuk kuku.
Gambar 3. Pesisir Pulau Serui jika dilihat dari atas kapal
Gambar 4. Kota beratapkan awan, Wasior
Setelah
melewati perjalanan panjang selama 3 malam 2 hari, akhirnya pagi hari tanggal
20 Desember 2014 kami tiba di Pelabuhan Sorong. Kami pun sudah tidak sabar lagi
untuk bertemu kawan-kawan RGSB lainnya yang bersal dari UNJ. Setelah menunggu
sekitar 10 menit di Pelabuhan, akhirnya kami dijemput oleh rekan RGSB Wahyudin
dan Hermawan. Kami berempat naik angkot untuk menuju ke tempat tinggal
sementara rekan-rekan RGSB dari UNJ selama mereka berada di Sorong. Di
kontrakan sudah menunggu dua rekan RGSB lainnya yaitu Agus dan Bowo. Seketika
itu juga kami berenam pun langsung terlibat percakapan yang cukup menarik
tentang pengalaman masing-masing selama masa tugas. Walaupun kami baru
dipertemukan ketika pembekalan di Jakarta sebelum berangkat ke Papua dan
berlanjut pembekalan di RINDAM XVII Jayapura, namun kebersamaan yang terjalin
sudah cukup kuat untuk menjadikan kami lebih dari sekedar teman biasa.
Gambar 5. Para RGSB (Relawan Guru Sobat Bumi) yang berasal dari UNJ
Selama
di Sorong kami mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menuju ke
Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat. Sebenarnya kapal yang menuju ke Ayau sore
hari setelah saya tiba di Sorong berangkat ke Ayau, namun karena melihat kondisi
saya dan rekan RGSB Anggi yang belum fit setelah perjalanan jauh serta
rekan-rekan RGSB dari UNJ yang belum mempersiapkan barang-barang yang akan
dibawa ke tempat tugas, akhirnya keberangkatan ke Ayau pun ditunda hingga
menunggu kapal yang selanjutnya. Selama menunggu kepastian kabar kapal, selain
mempersiapkan barang-barang juga kami berenam (Saya, Anggi, Wahyudin, Hermawan,
Bang Agus, dan Bowo) saling berbagi pengalaman serta metode pengajaran selama
berada di tempat tugas masing-masing. Tujuannya adalah untuk memperkaya materi
pengajaran serta memecahkan masalah pembelajaran yang dihadapi selama mengajar
di tempat tugas. Tidak lupa juga kami mengeksplor Kota Sorong dari sudut ke
sudut. Menurut pengamatan saya selama mengeksplor kota Sorong, di Sorong jumlah
penduduk non-Papua lebih banyak daripada di Kota Jayapura. Karena di jalanan
Kota Sorong, saya hanya sedikit melihat masyarakat asli Papua jika dibandingkan
dengan jalanan Kota Jayapura yang masih sering menemui masyarakat asli Papua.
Tidak hanya itu, biaya hidup di Kota Sorong pun lebih murah jika dibandingkan
dengan biaya hidup di Kota Jayapura. Saya ibaratkan biaya hidup di Sorong itu
seperti biaya hidup di Jakarta yang kiranya masih masuk di akal.
Waktu
yang ditunggu pun akhirnya tiba, tanggal 24 Desember pukul 24:00 WIT tepatnya
saat malam Natal, saya dan 5 rekan RGSB lainnya berangkat menuju ke Kepulauan
Ayau Kabupaten Raja Ampat menggunakan Kapal Bintang 23 dengan harga tiket Rp
70.000,-/orang dengan estimasi waktu perjalanan 1 hari 1 malam. Kapal yang kami
tumpangi ini sebenarnya merupakan kapal barang yang mengangkut beras Bulog
untuk masyarakat Ayau maka dari itu harga tiketnya sangat murah dan juga
memerlukan waktu perjalanan panjang. Padahal jika menggunakan kapal cepat,
hanya membutuhkan waktu kurang lebih selama 10 jam saja untuk sampai di Ayau.
Namun karena kapal cepat yang ke Ayau telah berangkat pada tanggal 20 Desember
lalu, maka terpaksa kami naik kapal ini. Karena memang kendala terbesar
masyarakat Ayau ketika akan berpergian adalah pada sarana transportasi yang
sulit.
Gambar 6. Suasana Kapal Bintang 23
Gambar 7. Salah satu ikonik yang terletak di sekitar Pelabuhan Waisai
Tanggal
25 Desember 2014 pagi hari kapal singgah di Pelabuhan Waisai, Raja Ampat.
Waisai sendiri merupakan ibukota Kabupaten Raja Ampat. Saya pun tidak mau
melewatkan pengalaman untuk menginjakkan kaki di Waisai walaupun hanya di
sekitar pelabuhannya saja. Namun saya sudah begitu takjub dengan alam Raja
Ampat. Bagaimana tidak takjub, perairan di sekitar Pelabuhan Waisai saja sudah
sangat jernih dan terdapat karang-karang kecil yang bisa dilihat dari atas
dermaga. Saya pun sudah tidak sabar lagi untuk melihat alam Raja Ampat yang
sebenarnya yaitu di Kepulauan Ayau. Setelah transit sekitar setengah jam di
Waisai, kapal pun kembali melanjutkan perjalanan. Sekitar pukul 20:00 WIT,
kapal singgah kembali yaitu di Kabare. Sebenarnya Kabare dan Waisai masih dalam
satu pulau, namun perjalanan dari Waisai ke Kabare tidak bisa menggunakan jalur
darat karena belum ada jalan yang menghubungkan dua daerah tersebut karena
harus membelah perbukitan yang tidak sedikit. Dan akhirnya tepat saat matahari
terbit di tanggal 26 Desember 2014, kapal menjatuhkan jangkar di perairan pulau
Dorekhar. Ya betul perairan, karena laut di sekitar pantai yang dangkal, jadi
kapal yang berukuran agak besar tidak bisa berlabuh di pinggir pantai. Untuk itu
penumpang harus berganti kapal ke kapal yang lebih kecil untuk bisa mencapai
daratan. Kami pun akhirnya dijemput oleh Kepala Kampung Yenkawir yang merupakan
kepala kampung di tempat tugas rekan RGSB Hermawan. Setelah memindahkan
barang-barang ke kapal kecil milik kepala kampung akhirnya kami berenam
meluncur ke daratan Kampung Yenkawir.
Gambar 8. Suasana loading barang dari Kapal Bintang 23 ke kapal yang lebih kecil (kapal speed)
Ada rasa yang tak biasa
ketika pertama kali menginjakkan kaki di kapal kecil dan akhirnya menaikinya.
Saya yang notabene tinggal di pesisir Jawa baru pertama kali naik kapal nelayan
sekecil ini. Rasa takut yang tak terkira pun saya rasakan ketika kapal sedikit
oleng karena ombak. Dan setelah melewati perjalanan yang menegangkan tadi pun
akhirnya kaki saya bisa menginjak daratan pulau Dorekhar tepatnya di Kampung
Yenkawir. Setelah membereskan barang-barang dari kapal menuju rumah guru yang
merupakan tempat tinggal rekan RGSB Hermawan, saya langsung menuju dermaga
kampung Yenkawir. Rasa takjub pun tidak bisa saya pungkiri melihat kekayaan
alam Raja Ampat. Pemandangan laut biru beserta pulau-pulaunya serta gerombolan
ikan-ikan kecil yang sangat banyak berenang-renang di bawah dermaga Yenkawir
menambah rasa takjub saya. Saya pun langsung mengambil kamera seakan-akan tidak
mau ketinggalan moment pemandangan yang indah di sekitar dermaga. Rekan RGSB
Anggi pun tidak mau kalah, ia langsung membeli benang nilon dan mata kail untuk
memancing di dermaga. Dan benar saja, tidak lama setelah ia beberapa kali
mencoba melempar kail, akhirnya ia mendapatkan ikan yang cukup besar bagi
ukuran saya yang biasa melihat ikan-ikan sungai di Ubrub.
Gambar 9. Dermaga Kampung Yenkawir Kepulauan Ayau, Kab. Raja Ampat. Begitu indah bukan?
Esok
harinya kami berenam berangkat berjalan kaki ke kampung Dorekhar yang merupakan
tempat tugas rekan RGSB Beni dimana hari itu juga bertepatan dengan perayaan
Natal Bersama se-Ayau. Jadi pada hari itu semua kampung yang ada di Kepulauan
Ayau berkumpul di satu tempat untuk melakukan perayaan diantaranya yaitu parade
“toki tambur” keliling kampung. Toki Tambur merupakan kesenian musik khas Raja
Ampat dimana alat musik yang dimainkan yaitu Tambur yang berbentuk seperti tifa
namun jauh lebih besar serta dimainkan dengan cara dipukul menggunakan kayu.
Tidak lupa seruling khas Raja Ampat pun menjadi bagian di dalamnya sehingga
parade tersebut juga disebut “Seruling Tambur”. Tahun ini yang menjadi tuan
rumah adalah kampung Dorekhar dimana rekan RGSB Beni ditugaskan. Untuk bisa
mencapai kampung Dorekhar dari kampung Yenkawir harus berjalan kaki kurang
lebih selama satu jam atau bisa juga menggunakan kapal dengan lama perjalanan
sekitar 15 menit.
Gambar 10. Masyarakat kampung Yenkawir saat berlatih "Seruling Tambur"
Gambar 11. Teluk Qui di Kampung Dorekhar Kepulauan Ayau.
"So beautiful place, right?"
Selama
perayaan Natal Bersama se-Ayau di Dorekhar, saya lebih banyak mengenal
kehidupan masyarakat Raja Ampat melalui cerita-cerita dari rekan RGSB ataupun
langsung dari berbincang-bincang bersama masyarakat. Sungguh bukan hanya
alamnya saja yang indah, ternyata Raja Ampat juga menyimpan kearifan lokal
masyarakat yang jauh dari bayangan saya mengenai masyarakat Papua. Selama
sehari semalam pun masyarakat larut dalam keceriaan hingga pada akhirya hari
Minggu tanggal 28 Desember 2014 setelah selesai ibadah, masyarakat kembali ke
kampungnya masing-masing. Dan sesuai rencana saya dan rekan RGSB Anggi ikut
kapal masyarakat kampung Reni untuk berkunjung ke tempat tugas rekan RGSB
Wahyudin di pulau Reni yang berjarak 2 jam perjalanan menggunakan kapal dari
Dorekhar.
Gambar 12. Saat pesiar (jalan-jalan) ke Pulau Rutum bersama keluarga kecil kepala sekolah SD Inpres 13 Reni
Kami
pun tiba di pulau Reni sekitar pukul 14:00 WIT dan bermalam di rumah guru
tempat tinggal rekan RGSB Wahyudin dan Kepala Sekolah SD Inpres 13 Reni. Selama
di Reni saya mendapat pengalaman yang lebih banyak serta bisa lebih dekat
dengan masyarakat Kepulauan Ayau yang sangat baik. Selain mengeksplor pulau
Reni, saya juga berkunjung ke Pulau Rutum yang merupakan tempat tugas rekan
RGSB Agus. Dan dari keseluruhan tempat yang saya kunjungi, tidak ada satu
tempat pun di Ayau yang tidak indah. Semua di Ayau merupakan tempat paling indah
yang pernah saya kunjungi. Pasir putih, laut biru tosca, keanekaragaman flora
dan fauna laut yang tidak ada bandingannya dengan laut Jawa. Hingga akhir tahun
saya berada di Reni karena berencana merayakan Tahun Baru 2015 disana.
Ingin tahu cerita saya dan teman-teman RGSB lain selama di Kepulauan Ayau Raja Ampat? tunggu kisah selanjutnya. "To be continue......"
Desember, 2014
Ayau, Kabupaten Raja Ampat
BAGUS
DWI MINARNO